Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERSEKUSI dan diskriminasi rasial terhadap mahasiswa asal Papua di Malang dan Surabaya tak bisa dibenarkan dengan alasan apa pun. Pelakunya harus diproses secara hukum. Keadilan perlu ditegakkan, tidak hanya untuk meredakan kemarahan orang Papua, tapi juga buat menimbulkan efek jera.
Konstitusi menjamin kesetaraan semua warga negara di muka hukum, tanpa membedakan suku, agama, ras, dan identitas lain. Aparat negara wajib melindungi mahasiswa Papua dari persekusi dan diskriminasi rasial. Di Malang, polisi terkesan membiarkan kelompok intoleran menyerang mahasiswa. Di Surabaya, ketika terjadi pengepungan asrama mahasiswa Papua oleh massa, orang yang diduga aparat justru ikut meneriakkan ujaran kebencian yang merendahkan martabat kemanusiaan.
Serangan terhadap mahasiswa di Jawa Timur menelanjangi sikap hipokrit sebagian masyarakat Indonesia. Di satu sisi, Papua, yang kaya dengan sumber alamnya, dianggap teramat penting bagi Indonesia. Tapi, di sisi lain, warga Papua kerap dipandang sebelah mata dengan segala stigma buruknya.
Gagal mencegah benturan di Jawa Timur, pemerintah pun terlambat mengantisipasi gelombang unjuk rasa serta kerusuhan di sejumlah kota di Papua dan Papua Barat. Presiden Joko Widodo akhirnya memerintahkan Kepala Kepolisian RI dan Panglima Tentara Nasional Indonesia datang langsung ke Papua. Tapi kerusakan telanjur terjadi. Papua berada di ambang konflik horizontal.
Bara konflik tak boleh dibiarkan membesar di Papua. Pemerintah mesti ekstra-hati-hati meredakan gejolak. Pengiriman lebih dari 1.200 personel gabungan Brigade Mobil Polri dan Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat ke Papua berpotensi memanaskan situasi. Selama ini, pendekatan keamanan terbukti gagal mengatasi konflik di Papua.
Konflik berkepanjangan di Papua harus diselesaikan dari akarnya. Hasil penelitian bersambung Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (2009 dan 2017) memetakan empat akar konflik Papua-Jakarta. Pertama, sejarah dan status integrasi Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang masih kontroversial. Kedua, pelanggaran hak asasi manusia dan kekerasan oleh aparat negara yang belum diselesaikan secara adil. Ketiga, marginalisasi dan diskriminasi terhadap orang asli Papua. Terakhir, kegagalan pembangunan di Papua, terutama di bidang pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Sampai hari ini, semua masalah itu belum terpecahkan.
Sejak era reformasi, Jakarta mengubah cara pandang dan pendekatan terhadap Papua. Sepanjang 2001-2018, pemerintah pusat menggelontorkan dana otonomi khusus Papua sekitar Rp 75 triliun. Sejak memerintah pada 2014, Presiden Jokowi pun bolak-balik mengunjungi Papua serta terus menggenjot pembangunan infrastruktur di sana.
Namun kebijakan afirmatif yang menekankan pembangunan fisik itu belum banyak memperbaiki nasib warga Papua. Indeks Pembangunan Manusia Papua masih terendah se-Indonesia. Tingkat kemiskinan di Papua pun masih yang tertinggi, yakni 27,53 persen, dari angka nasional 9,47 persen (Maret 2019).
Banyak yang mesti dikerjakan untuk mengakhiri konflik Papua sampai akarnya. Negara harus mengakui kesalahan di masa lalu. Pelanggar hak asasi manusia mesti diadili. Kebijakan afirmasi untuk warga lokal perlu dilanjutkan. Di atas segalanya, Jakarta dan Papua harus terus membuka dialog yang didasari iktikad mencari solusi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo