Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Tema komunisme dan 1965 hampir selalu hadir dan dihadirkan menjelang peringatan Gerakan 30 September.
Padahal komunisme telah ditahbiskan bangkrut, baik secara ideologis maupun gerakan.
Sebagai teknologi politik, komunisme merupakan bahan baku paling murah dan ringkas.
Rendy Pahrun Wadipalapa
Pengajar FISIP Universitas Airlangga dan kandidat doktor politik di University of Leeds
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tema komunisme dan 1965 hampir selalu hadir dan dihadirkan menjelang peringatan Gerakan 30 September. Kecemasan atas revivalisme gerakan ini menunjukkan bahwa isu komunisme senantiasa diletakkan sebagai diskursus vital dalam politik nasional. Meski kini komunisme telah ditahbiskan bangkrut, baik secara ideologis maupun gerakan, konjungtur debat yang mudah naik membuktikan bahwa masa depan perbincangan dalam ruang politik masih akan diisi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) dan paranoia kebangkitannya.
Pada pengujung September tahun ini, para elite politik mulai memanggil kembali kenangan buruk masa lalu ke dalam ingatan publik. Orang dihantui oleh risiko laten kekejian PKI ateis yang dapat saja muncul sewaktu-waktu—dengan jumlah jutaan anggota pasukan—dan merebut republik ini. Klaim ini tidak pernah dihadirkan beserta buktinya dan memang tidak diperlukan pembuktian apa-apa untuk sebuah provokasi politik yang efektif dan murah meriah.
Kita mafhum jika pada gilirannya komunisme tak lagi dipelajari sebagai paradigma filosofis atau ancangan politik dalam membaca masalah ketimpangan masyarakat. Komunisme telah dicabut dari penjelasan-penjelasan akademis dan dilekati secara spontan sebagai biang dari kecamuk bangsa, ideologi terlarang, atau gerakan keji yang membunuhi perwira militer. Pada saat yang sama, secara langsung komunisme disulap menjadi salah satu amunisi paling ampuh dalam kontestasi politik lewat eksploitasi trauma.
Elite sadar bahwa resep komunisme dapat dipakai di segala momen. Survei Fossati dan Warburton pada 2018 menunjukkan betapa legislator kita di daerah sangat percaya kepada kebangkitan PKI dan tak segan-segan menyebut bahaya kebangkitannya ke muka publik. Dalam mode kampanye, tudingan terhadap kompetitor sebagai simpatisan komunis dan antek PKI sudah mampu menghantam integritas, membutakan publik dari rekam jejak serta pengalaman kerja, dan bahkan menggerus habis capaian angka dari bilik suara.
Tentu saja baku tuding siapa komunis dan anti-komunis ini menciptakan banyak kerepotan. Presiden Joko Widodo sendiri, menjelang pencalonannya kembali dalam Pemilihan Umum 2019, berpidato berkali-kali dengan mengulang kekhawatiran yang sama: berdasarkan riset internalnya, masih ada 9 juta orang yang percaya bahwa ia PKI.
Ada sekurangnya tiga sebab mengapa eksploitasi trauma 1965 semakin mengakar dalam praktik politik kita. Pertama, negara, yang gagal menjawab dilema penyelesaian kasus 1965, mulai berbalik badan dan turut serta mengambil manfaat dalam permainan trauma itu sendiri. Indikasi ini sangat kuat ditampakkan melalui anjuran, bahkan perintah, terhadap agenda-agenda negara untuk mencegah kebangkitan PKI.
Kedua, sebagai teknologi politik, komunisme merupakan bahan baku paling murah dan ringkas. Tak diperlukan rumusan bertele-tele untuk memprovokasi publik tentang eksistensi komunis dan bahaya latennya. Nalar publik sengaja digelapkan hingga kehilangan pegangan.
Ketiga, naiknya kembali politik populisme agama sejak peristiwa pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada 2017. Tren ini berhasil mengembalikan seluruh kosakata dan leksikon, acuan moral, hingga logika agama ke panggung utama politik. Kita melihat konsentrasi isu kampanye pemilihan presiden lalu mengental pada ranah agama dan segera menciptakan polarisasi pada tubuh sosial. Kondisi semacam ini menambah sensitivitas elite terhadap segala hal yang dinilai berlawanan dengan agama. Komunisme adalah narasi tua yang coba dimainkan ulang untuk dibenturkan dengan narasi agama.
Kemudahan dalam mengeksploitasi trauma ini sesungguhnya mencederai akal sehat bangsa. Kita tak pernah mampu melepaskan diri dari jebakan ilusif atas sesuatu yang telah lama bangkrut. Setiap orang kini berebut menjadi yang paling bersih dari anasir komunisme sekaligus mengesankan diri sebagai anti-komunis.
Di tengah krisis riil atas soal-soal lain bangsa, dapatkah kita melepaskan diri dari politik trauma ini? Mungkin sudah saatnya kita meninggalkan kecamuk perdebatan tua tentang siapa dalang dan siapa korban, apalagi tanpa bukti menyemburkan tuduhan kebangkitan PKI. Hal yang jauh lebih krusial adalah menyehatkan kembali ruang berpikir politik dan para elite kembali bekerja sebaik-baiknya. Bagaimanapun, eksploitasi trauma telah menyakiti korban sesungguhnya: generasi selanjutnya yang diombang-ambingkan oleh akrobat delusi. *
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo