Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Harapan pada Stimulus Pemulihan Ekonomi

Efek samping dari insentif kredit pemilikan rumah dan kendaraan bermotor harus diantisipasi. Perlu dibarengi dengan stimulus lain agar lekas berakselerasi.

1 Maret 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Imam Yunni

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pemerintah memberikan insentif untuk kredit pemilikan rumah dan kendaraan bermotor.

  • Peranti andalan untuk membangkitkan kembali perekonomian.

  • Efek samping dari kebijakan ini perlu diantisipasi sejak dini.

Haryo Kuncoro
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Stimulus tampaknya menjadi peranti andalan pemerintah untuk membangkitkan kembali perekonomian dari dampak pandemi Covid-19. Setelah sehimpun insentif fiskal untuk produsen sepanjang tahun lalu tidak terlalu efektif, strategi insentif mulai diarahkan pada sisi konsumen.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mulai 1 Maret ini, calon konsumen diberi kemudahan berupa uang muka nol persen atas kredit pemilikan rumah (KPR) dan kredit kendaraan bermotor (KKB). Insentif yang disebut terakhir menyusuli pelonggaran pajak penjualan barang mewah (PPnBM) untuk kendaraan kelas 1500 cc.

KPR dan KKB dipilih sebagai obyek pelonggaran lantaran menjadi "primadona" portofolio kredit. Subsektor properti dan otomotif juga memiliki keterkaitan industri yang kuat. Pulihnya kedua sektor tersebut diproyeksikan menjadi loncatan awal bagi pemulihan ekonomi lewat seluruh aktivitas ekonomi mata rantai turunannya.

Meski demikian, efek samping dari kebijakan ini perlu diantisipasi sejak dini. Tidak semua bank atau perusahaan pembiayaan secara finansial mampu memberikan uang muka nol persen. Artinya, uang muka nol persen berpotensi menimbulkan gangguan di pasar keuangan.

Gangguan pasar keuangan lebih lanjut akan dimanfaatkan oleh calon debitor untuk memiliki lebih dari satu KPR. Ironisnya, probabilitas KPR macet menjadi amat terbuka, sementara segmen rumah tangga konsumen menengah-atas, yang menjadi target kebijakan ini, ada kemungkinan akan berpikir dua-tiga kali.

Persoalan semakin sensitif jika menyangkut masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah. Segmen kelompok masyarakat yang benar-benar membutuhkan KPR dan KKB ini bisa jadi kalah bersaing jika harus berhadapan dengan calon konsumen lain yang tetap bersedia membayar uang muka.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa motif pembelian rumah tidak semata-mata untuk ditempati, tapi juga untuk spekulasi atau investasi guna mendapatkan keuntungan dari kenaikan harga rumah di masa mendatang. Hal ini pula yang menyebabkan konsumen tetap membeli properti, berapa pun uang muka yang dipatok.

Karena itu, pelonggaran uang muka harus ditanggapi secara bijak oleh perbankan. Uang muka nol persen jangan lantas membuat bank agresif dalam menyalurkan KPR dan KKB. Prinsip 5C (character, capacity, capital, collateral, dan condition of economy) semestinya menjadi pedoman kehati-hatian bank.

Harus diakui pula, pertumbuhan KPR yang terlalu tinggi dapat mendorong peningkatan harga properti hingga melampaui nilai wajarnya. Risiko yang paling parah adalah saat gelembung pecah. Sejarah mencatat krisis di banyak negara umumnya didahului oleh gelembung kredit properti.

Bagi konsumen, "teliti sebelum membeli" barangkali sebuah nasihat yang amat arif. Calon konsumen KPR ataupun KKB perlu mawas diri jika hendak mengambil kredit. Rumah atau kendaraan adalah barang tahan lama, alih-alih komoditas habis pakai, sehingga menuntut pertimbangan saksama.

Pemahaman juga harus kukuh dicanangkan bahwa uang muka nol persen sama sekali bukan berarti harga turun. Uang muka nol persen niscaya menaikkan cicilan periodiknya. Maka, kecukupan penghasilan jangka panjang untuk memenuhi kewajiban finansial menjadi syarat mutlak. Potensi pengeluaran jangka pendek-menengah juga harus cermat dikalkulasi, meski insentif hanya berlaku sampai akhir tahun.

Jika semua aspek finansial di atas terkelola dengan baik, KPR ataupun KKB dalam taraf tertentu niscaya akan aman. Artinya, keputusan calon konsumen sudah optimal dengan didasarkan pada pertimbangan logis, alih-alih hanya tergiur oleh iming-iming atau terkena efek ikut arus.

Di luar beberapa persoalan di atas, relaksasi uang muka ini perlu dibarengi dengan stimulus lain agar lekas berakselerasi. Pemerintah harus terus melanjutkan pembangunan proyek infrastruktur dan program prioritas untuk memfasilitasi investasi, terutama di bidang yang komplementer dengan properti dan otomotif, seperti listrik dan transportasi.

Deregulasi perizinan dan jaminan hukum niscaya akan membuat investor nyaman saat ikut menyokong pengembangan perekonomian nasional, regional, dan daerah. Intinya, harapan dalam menumbuhkan produksi dan konsumsi demi pemulihan ekonomi nasional tidak bisa dilakukan secara parsial.

Kebijakan yang dirilis otoritas moneter, finansial, dan fiskal toh hanya sebatas pada pengkondisian awal. Eksekutornya tetap saja masyarakat sebagai pihak yang terkena kebijakan. Kolaborasi antar-pemangku kepentingan akan cepat memecahkan persoalan produksi, konsumsi, penyaluran kredit, dan ekonomi makro secara berbarengan. Bahkan, bukan mustahil, ia mampu mengangkat perekonomian keluar dari zona negatif sehingga target pertumbuhan ekonomi 5 persen pada 2021 bakal tercapai.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus