Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

KPK 'Jelangkung'

Pimpinan KPK saat ini sudah berbeda. Hilangnya budaya "jelangkung" KPK akan menggerus integritas lembaga itu.

13 Agustus 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/Imam Yunni

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Komisi Pemberantasan Korupsi dulu adalah jelangkung antikorupsi.

  • Dia datang tak dijemput, pulang tak diantar.

  • Budaya itu hilang dengan terbitnya Peraturan Pimpinan KPK tentang Perjalanan Dinas.

Feri Amsari
Dosen Hukum Tata Negara, Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kini bukan lagi "jelangkung" antikorupsi, yang datang tak dijemput, pulang tak diantar. Meme itu hilang dari budaya KPK dengan terbitnya Peraturan Pimpinan KPK Nomor 6 Tahun 2021 tentang Perjalanan Dinas di Lingkungan KPK.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pasal 2A ayat (1) peraturan tersebut "memaksa" mitra KPK di berbagai lembaga memberikan biaya perjalanan dinas. Ini sesuatu yang tabu bagi KPK sebelum dipimpin Firli Bahuri. Jangankan menerima biaya perjalanan dinas, pegawai KPK dulu tidak diperkenankan menerima minuman, bahkan saat haus sekalipun. Integritas mereka terjaga dan potensi konflik kepentingan dapat dihindari. KPK jelangkung itu dihormati penyelenggara negara lainnya sekaligus ditakuti koruptor.

Pimpinan KPK saat ini sudah berbeda. Rekam jejaknya memperlihatkan kebiasaannya berjumpa dan main tenis dengan pihak beperkara, meminta tolong untuk urusan keluarga, naik helikopter mewah, dan melakukan berbagai hal yang tidak mungkin dilakukan pimpinan dan pegawai KPK terdahulu. Jadi, peraturan pimpinan KPK yang baru itu ibarat ruas bertemu buku: sudah jodohnya pimpinan dengan rekam jejak buruk membuat peraturan yang mendukung keburukan itu.

Sebagai aparat penegak hukum, peraturan pimpinan KPK itu dapat membuka peluang gratifikasi dan konflik kepentingan dengan berbagai pihak. Bagi institusi yang korup, peraturan itu tentu disambut gembira. Peluang "negosiasi" perkara menjadi terbuka. Sedangkan bagi pencari keadilan, peraturan tersebut merupakan musibah, karena biaya perjalanan dinas seperti itu membuat KPK kian mirip dengan aparat penegak hukum lain yang gagal memberantas korupsi.

Membabi Buta

Kegilaan lain yang juga dilakukan pimpinan lembaga antirasuah itu adalah pada kasus tes wawasan kebangsaan (TWK) alih status pegawai KPK. Kontrak penyelenggaraan TWK dilakukan dengan memundurkan tanggal perjanjian. Tindakan itu tidak hanya cacat administrasi, tapi juga berpotensi korupsi.

Laporan akhir hasil pemeriksaan (LAHP) Ombudsman menemukan cacat administrasi dalam proses penyelenggaraan TWK. Alih-alih menerima laporan tersebut, pimpinan KPK berpendapat bahwa Ombudsman juga melakukan kesalahan administratif dan konstitusional.

Tuduhan pimpinan KPK kepada Ombudsman itu menarik diulas, terutama terhadap dua tuduhan kerasnya. Pertama, menurut Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron, laporan Ombudsman itu cacat administrasi karena tidak taat prosedur yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Pendapat Nurul itu didasarkan pada ketentuan Pasal 15 Peraturan Ombudsman Nomor 26 Tahun 2017 sebagaimana diubah dengan Peraturan Ombudsman Nomor 48 Tahun 2020 tentang Tata Cara Penerimaan, Pemeriksaan, dan Penyelesaian Laporan, yang menentukan bahwa klarifikasi (dalam hal ini terhadap KPK) dilakukan oleh keasistenan yang membidangi fungsi pemeriksaan. Itu sebabnya, Nurul meyakini bahwa klarifikasi yang dilakukan salah satu anggota pimpinan Ombudsman terhadap KPK telah bertentangan dengan prosedur tersebut.

Pendapat Nurul itu mudah dibantah. Ketentuan Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman mengatur bahwa, "Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Ombudsman dibantu oleh asisten Ombudsman." Salah satu wewenang Ombudsman adalah melakukan klarifikasi sebagaimana diatur dalam Pasal 6, 7, dan 8 undang-undang itu. Jadi, sudah dapat dipastikan bahwa pimpinan Ombudsman berwenang melakukan klarifikasi, karena asisten hanya ditugasi membantu pelaksanaan wewenang Ombudsman.

Kedua, Nurul berpendapat bahwa Ombudsman tidak tepat mempertanyakan prosedur pembentukan peraturan KPK tentang alih status pegawai. Apalagi jika Ombudsman berpendapat bahwa peraturan itu bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi. Dengan menggunakan ketentuan Pasal 24A UUD 1945, Nurul berpendapat bahwa pengujian peraturan di bawah undang-undang terhadap undang-undang merupakan kewenangan Mahkamah Agung yang tidak dapat dilaksanakan Ombudsman.

Pendapat itu cukup dangkal. Sebab, kedua lembaga tersebut memiliki wewenang dengan obyek yang berbeda. Ombudsman ditugasi untuk memastikan prosedur pelaksanaan kewenangan tidak cacat administrasi (maladministrasi), sedangkan Mahkamah Agung berwenang membatalkan peraturan yang menyalahi tata cara pembentukan dan materi muatan karena melanggar undang-undang yang lebih tinggi.

Dua obyek itu memiliki perbedaan yang tipis. Kuncinya adalah pada keluaran pelaksanaan wewenang. Ombudsman menyatakan cacat administrasi dan memberikan rekomendasi perbaikan. Adapun Mahkamah memutuskan pembatalan sebagian atau seluruh peraturan.

Bahkan setiap orang dapat mempermasalahkan perkaranya ke Ombudsman dan/atau MA sekaligus. Obyek kasus penyelenggaraan pemilihan kepala daerah juga acap kali sekaligus diperkarakan ke Ombudsman, pengadilan tata usaha negara (PTUN), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Mahkamah Agung, hingga Mahkamah Konstitusi.

Pada titik ini, pernyataan pimpinan KPK terlihat dipaksakan, jika tidak ingin disebut "membabi buta" agar 75 pegawai KPK tetap berhenti. Meski melanggar undang-undang dan putusan Mahkamah Konstitusi, bagi pimpinan KPK, 75 pegawai itu adalah jelangkung pemberantasan korupsi yang harus dimusnahkan. Jika mereka masih ada, mungkin peraturan pimpinan KPK soal biaya perjalanan dinas pun akan diprotes para jelangkung itu.

Tanggung Jawab Presiden

KPK sudah terlalu buruk. Ketiadaan integritas telah dipertontonkan tanpa malu-malu. Sementara itu, Presiden Joko Widodo sedang berpura-pura tidak mengetahui kondisi memalukan tersebut.

Selama sistem presidensial masih diterapkan, Presiden akan selalu dituntut untuk bertanggung jawab atas segala hal yang terjadi di tubuh KPK. Sebab, memperbaiki keadaan tersebut adalah hal yang mudah bagi Presiden. Sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, Presiden memiliki kewenangan luar biasa. Dalam kasus biaya perjalanan dinas KPK, Presiden dapat memerintahkan Menteri Keuangan, lembaga-lembaga eksekutif, dan pemerintah daerah untuk tidak memenuhi peraturan pimpinan KPK tersebut. Niat buruk KPK itu pasti berakhir.

Presiden juga dapat dengan mudah menyelesaikan kasus TWK. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2020 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil, Presiden dapat mengangkat 75 pegawai KPK menjadi PNS semudah membalikkan telapak tangan. Masalahnya, Presiden punya niat atau tidak?

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus