Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Lumbung Pangan dan Kedaulatan Petani

Belum ada proyek lumbung pangan, dari era Soeharto hingga periode pertama Jokowi, yang berhasil. Harus ada perubahan paradigma.

18 Agustus 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
11

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pada masa pandemi Covid-19, kedaulatan pangan menjadi isu penting.

  • Belum ada proyek lumbung pangan, dari era Soeharto hingga periode pertama Jokowi, yang berhasil.

  • Harus ada perubahan paradigma, dari pendekatan ketahanan pangan ke kedaulatan pangan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Khudori
Anggota Pokja Dewan Ketahanan Pangan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


Ketika pandemi Covid-19 terjadi, pangan menjadi isu penting di semua negara, termasuk di Singapura, peringkat pertama dari 113 negara dalam Indeks Keamanan Pangan Global (GFSI) pada 2019. Pendapatan per kapita yang tinggi memungkinkan Negeri Singa membangun cadangan pangan yang sangat kuat berbasis impor. Bergantung pangan pada impor merupakan kekuatan sekaligus kelemahan. Ia menjadi kekuatan bila dalam situasi normal. Dalam situasi krisis, impor bisa berujung petaka. Pandemi Covid-19, yang membatasi perdagangan antarbangsa, membuat negara-negara importir pangan seperti Singapura terpukul dua kali. Bukan saja tak ada kepastian pasokan, tapi harga pangan juga bisa bergerak liar.

Situasi hampir serupa terjadi di India, Italia, dan negara lain. Aura kekhawatiran akan terjadi krisis pangan juga berdentang di Indonesia. Merujuk pada peringatan Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO), sejak April 2020, Presiden Jokowi berulang kali meminta para menteri mengantisipasi potensi krisis pangan. Saat mengumumkan bahwa Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menjadi pemimpin program lumbung pangan (food estate) di Kalimantan Tengah, 9 Juli 2020, Jokowi kembali mengulang perkara potensi krisis pangan itu.

Sebelum pandemi, pangan sudah dirundung aneka masalah. Pertama, impor delapan komoditas pangan penting terus naik, dari 21,9 juta ton pada 2014 menjadi 27,6 juta ton pada 2018. Pada 2018, nilai impor pangan mencapai US$ 16,8 miliar. Sejauh ini belum ada tanda-tanda impor bakal menurun. Kedua, konversi lahan pertanian ke nonpertanian terus berlangsung dan sepertinya belum ada formula buat menghentikannya. Luas lahan baku sawah menurun tajam, dari 8,3 juta hektare lebih pada 2012 menjadi hampir 7,5 juta hektare pada 2019. Hanya dalam tujuh tahun berkurang 900 ribu hektare. Undang-Undang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan sepertinya juga mandul dalam menahan laju konversi lahan ini.

Ketiga, kondisi pelaku pertanian amat rapuh. Mereka rata-rata petani gurem (55 persen), berpendidikan rendah (72,6 persen lulus sekolah dasar atau tak sekolah), mayoritas berusia 45-54 tahun (32,6 persen berusia di atas 54 tahun), produktivitas rendah (hanya seperempat dari industri), kesejahteraan rendah, dan akses ke sumber daya produktif (bank, penyuluhan, sarana produksi, serta pasar) rendah. Belum lagi soal diversifikasi pangan yang mandek, bahkan mundur, dan konsentrasi produksi pangan di enam provinsi.

Rencana Jokowi membangun lumbung pangan dalam skala luas di bekas proyek lahan pangan sejuta hektare di Kalimantan Tengah warisan era Presiden Soeharto pada 1995 bisa dimaknai sebagai bagian dari upaya memperluas lahan pangan. Jika ini berhasil, produksi pangan bisa digenjot dan impor bisa dikurangi. Masalahnya, dari serangkaian langkah serupa pada masa lalu, apakah bernama food estate, rice estate, maupun sejenisnya, yang terentang dari era Soeharto hingga periode pertama Jokowi, belum ada catatan keberhasilan. Apalagi langkah Jokowi menunjuk Prabowo sebagai pemimpin proyek, seperti ditulis dalam majalah Tempo, telah memicu disharmoni di kabinet dan di tubuh Tentara Nasional Indonesia.

Lumbung pangan di Kalimantan itu akan dikelola sebuah badan, berbasis korporasi petani dan teknologi, serta mengintegrasikan pertanian, perkebunan, dan peternakan dalam satu kawasan. Yang belum jelas adalah posisi petani berada di mana. Sebagai pekerja atau mendapatkan lahan sebagai bagian dari janji reforma agraria? Sesuai dengan namanya, lumbung pangan adalah pengembangan produksi pangan berskala luas. Definisi ini tegas menunjukkan kultur bertani ala food estate hanya diperuntukkan bagi pemilik kapital atau korporasi besar.

Selama 400 tahun terakhir, evolusi pembangunan selalu dibimbing oleh jiwa yang meniadakan petani/masyarakat sebagai subjek pembangunan. Premis dasar kebijakan ini adalah usaha besar memiliki kapasitas lebih tinggi dari petani. Padahal bukti-bukti empiris menunjukkan sebaliknya. Siapa yang memproduksi pangan bagi 270 juta penduduk kalau bukan petani? Itu dilakukan di 3,6 juta hektare area karet, 3,7 juta hektare kelapa, 7,4 juta hektare sawah, serta ratusan ribu hektare kebun kopi, teh, tebu, kedelai, jagung, dan lainnya. Untuk memuliakan petani, harus ada perubahan paradigma, dari pendekatan ketahanan pangan ke kedaulatan pangan. Dalam kedaulatan pangan, petani, termasuk petani kecil, harus berdaulat dalam arus besar pembangunan pertanian.

Dalam konteks ini, pertama, petani akan berdaulat bila memiliki akses yang luas terhadap aneka sumber daya produksi penting: tanah, air, benih, teknologi, pasar, dan finansial. Kedua, kedaulatan pangan bakal terwujud apabila petani mengembangkan model produksi yang berkelanjutan. Salah satu hal yang bisa dipilih adalah pendekatan agroekologi yang berbasis empat pilar: layak secara ekonomi, teknologi adaptif, tidak merusak lingkungan dan berkelanjutan, serta diterima masyarakat secara sosial-budaya.

Ketiga, sistem perdagangan yang adil. Dalam konteks lingkungan alam, petani perlu perlindungan atas berbagai kemungkinan kerugian bencana alam. Negara perlu memberi jaminan hukum bila itu terjadi, sehingga petani tak menderita. Dalam lingkup lingkungan sosial-ekonomi, negara perlu menjamin struktur pasar yang menjadi dasar pertanian adalah struktur pasar yang adil, baik domestik maupun dunia.

Keempat, kedaulatan pangan akan terwujud bila berkembang model konsumsi pangan setempat, baik level provinsi, kabupaten/kota, maupun desa. Model ini, pertama-tama, mengandalkan konsumsi pangan dari produksi sendiri. Impor dibolehkan dengan syarat ketat. Semoga pandemi ini menyadarkan kita akan pentingnya kedaulatan pangan. *

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus