Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dunia pendidikan harus beradaptasi menghadapi pandemi Covid-19.
Berbagai aktor pendidikan melakukan langkah-langkah transformatif, baik melalui kebijakan pemerintah maupun prakarsa mandiri.
Yang kurang tampak adalah kebijakan bagi keluarga miskin dan yang tak punya akses Internet.
Anggi Afriansyah
Peneliti LIPI dan Dewan Pakar Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dunia pendidikan harus beradaptasi menghadapi pandemi Covid-19. Apalagi banyak sekolah yang harus tutup. Berbagai “transformasi terpaksa” sangat jelas terlihat di dunia pendidikan dalam menanggapi situasi pandemi. Namun masih banyak masalah yang harus segera diatasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Data kependidikan kita saat ini menunjukkan potret yang kurang menggembirakan. Rata-rata lama sekolah menurun, dari 7,9 tahun menjadi 7,6-7 tahun. Angka putus sekolah meningkat menjadi 24 juta siswa, dari pendidikan anak usia dini hingga perguruan tinggi. Capaian belajar menurun sekitar 25 persen. Kesenjangan pendidikan antara siswa dari kelompok ekonomi atas dan bawah melebar, kekerasan pada anak, dan berbagai risiko eksternal. (Kementerian Pendidikan, Bank Dunia, UNESCO, 2020)
Sekolah di zona hijau dan kuning sudah diizinkan untuk dibuka. Namun mayoritas pemerintah daerah masih menahan diri untuk tidak membukanya karena khawatir akan munculnya kluster pendidikan. Situasi ini membuat berbagai aktor pendidikan melakukan langkah-langkah transformatif, baik melalui kebijakan Kementerian Pendidikan atau pemerintah daerah maupun prakarsa mandiri.
Sulitnya pembelajaran pada masa pandemi di Indonesia terjadi karena cakupan geografis yang begitu beragam dan luas. Sangat tampak adanya ketimpangan fasilitas (listrik, Internet, komputer/laptop/tablet, telepon seluler pintar) antara wilayah terluar, terdepan, tertinggal (3T) dan wilayah non-3T. Juga bagi yang berada di wilayah perkotaan tapi berlatar keluarga miskin. Kondisi ini, apalagi dengan penggunaan metode pembelajaran jarak jauh (PJJ) berbasis Internet, menyulitkan keluarga miskin dan yang tak punya akses.
Pemerintah menerbitkan beberapa kebijakan, dari relaksasi dana bantuan operasional sekolah, subsidi kuota Internet, program belajar melalui TVRI dan RRI, hingga penyederhanaan kurikulum. Yang masih sering luput adalah kebijakan bagi mereka yang tak punya akses, baik guru maupun siswa. Padahal pintu masuk peningkatan kualitas pendidikan adalah akses yang setara, baru kemudian bicara soal teknologi, model pembelajaran, dan sebagainya.
Kondisi ini semakin menunjukkan bahwa pendidikan sebagai suatu ekosistem tidak terlepas dari kebijakan politik, daya dukung teknologi, infrastruktur yang memadai, dan dukungan dari orang tua/masyarakat. Hal ini juga menunjukkan bahwa dalam konteks Indonesia, kebijakan pendidikan tidak bisa gebyah-uyah serta harus lebih memperhatikan aspek demografis, geografis, dan sosio-kultural.
Ada beberapa catatan yang perlu menjadi perhatian. Pertama, otoritas pendidikan, baik di pusat maupun daerah, harus memastikan dan menjamin kelanjutan pembelajaran yang adil. Poin utamanya adalah kesetaraan akses terhadap teknologi, sumber pembelajaran, dan guru yang berkualitas. Harus ada kebijakan ekstra, khususnya bagi para siswa yang berada di wilayah 3T dan dari keluarga miskin.
Kedua, pemberian perlindungan dan keamanan bagi guru dan siswa. Aspek kesehatan fisik dan psikis serta keselamatan adalah hal utama. Perhatian terhadap guru honorer yang semakin terhimpit di tengah pandemi juga harus menjadi perhatian. Pendampingan pemerintah pusat dan daerah menjadi sangat penting.
Ketiga, peningkatan kapasitas guru, terutama yang tidak punya akses berbagai sarana daring. Sejauh ini, yang sangat tampak barulah peningkatan kapasitas guru melalui webinar. Hal ini bagus, tapi tidak semua guru dapat mengaksesnya. Intinya, pelatihan dan peningkatan kapasitas dalam penguasaan pedagogi digital perlu menjadi program berkelanjutan yang dapat diakses semua guru.
Keempat, pelibatan komunitas. Ada banyak contoh kelompok masyarakat yang memberikan Wi-Fi gratis dan kepala desa yang terlibat aktif membantu pembelajaran pada masa pandemi. Penguatan pendidikan berbasis komunitas menjadi salah satu alternatif yang perlu dieksplorasi. Pemerintah daerah diharapkan aktif dalam mencari berbagai alternatif kebijakan pendidikan yang lebih berpihak kepada kelompok yang terpinggirkan.
Kelima, evaluasi menyeluruh terhadap sistem pembelajaran, sehingga pemerintah punya strategi yang berlapis dan berbeda di berbagai tempat. Evaluasi dapat difokuskan pada beberapa variabel penting, yaitu sumber daya manusia (guru dan siswa), akses terhadap teknologi (listrik, Internet, gawai), dukungan pemerintah daerah, budaya (dukungan komunitas), serta kondisi sekolah (Huber & Christoph Helm, 2020). Upaya-upaya tersebut dilakukan untuk tetap menjaga api pendidikan pada masa pandemi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo