Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Pandemi dan Fenomena Pulang Kampung

Fenomena pulang kampung terjadi di sejumlah daerah. Data Kementerian Desa menunjukkan 805.479 orang, yang semula tinggal di kota, kini pulang ke desa karena pemutusan hubungan kerja akibat pandemi Covid-19.

9 September 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
7

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Fenomena pulang kampung terjadi di sejumlah daerah.

  • Desa, yang semula dinilai tidak memberikan harapan, kini menjadi tumpuan.

  • Perdesaan dan pertanian kita belum ditopang fondasi yang kokoh.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Khudori
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Fenomena pulang kampung terjadi di sejumlah daerah. Data Kementerian Desa menunjukkan 805.479 orang, yang semula tinggal di kota, kini pulang ke desa karena pemutusan hubungan kerja akibat pandemi Covid-19. Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia memperkirakan 50.114 pekerja migran pulang kampung selama Juli-Agustus 2020. Hingga akhir tahun, arus balik ini akan terus mengalir. Desa, yang semula dinilai tidak memberikan harapan, kini menjadi tumpuan.

Dari sudut statistik, pulang kampung memang logis. Kala hampir semua sendi kehidupan lintang pukang dihantam pandemi, desa, dengan dominasi ekonomi pertaniannya, tetap tangguh. Ketika sejumlah sektor perekonomian terpukul, sektor pertanian pada triwulan kedua 2020 tumbuh positif 2,19 persen dibanding triwulan kedua 2019. Dibandingkan dengan triwulan pertama 2020 (quarter-to-quarter), pertanian menjadi penyumbang pertumbuhan tertinggi, 16,24 persen.

Tatkala angka kemiskinan naik, dari 24,79 juta menjadi 26,42 juta orang, dari Maret 2019 ke Maret 2020, persentase kemiskinan di perdesaan turun 0,03 poin. Jumlahnya memang naik, tapi di perkotaan kenaikannya 10 kali lipat dari perdesaan, yakni 1,17 juta orang. Saat ketimpangan, yang diukur dari rasio Gini, di perkotaan naik (dari 0,392 menjadi 0,393), di perdesaan tetap 0,317. Selain itu, pada semester pertama tahun ini, nilai ekspor pertanian naik 9,67 persen dari periode yang sama tahun lalu, dari US$ 1,56 miliar menjadi US$ 1,71 miliar. Ekspor olahan pertanian juga naik 5,32 persen, dari US$ 10,91 miliar menjadi US$ 11,49 miliar.

Data statistik ini merupakan bukti bahwa perdesaan dan pertanian menjadi penyelamat tatkala banyak orang kehilangan pekerjaan/pendapatan akibat krisis/resesi. Hal ini mirip saat krisis moneter 1997-1998 atau krisis 2007-2008. Berbeda dengan pariwisata, pertanian merupakan salah satu sektor yang mudah mengakomodasi protokol kesehatan.

Pertanian, dengan produk utama pangan, adalah kebutuhan dasar yang mesti terpenuhi setiap saat. Saat karantina dilakukan banyak negara eksportir pangan, pangan produksi lokal menjadi satu-satunya alternatif. Meski demikian, struktur penopang perdesaan dan pertanian kita amat rapuh: rata-rata petani adalah petani gurem, berpendidikan rendah, mayoritas berusia 45-54 tahun, produktivitas rendah, kesejahteraan rendah, dan akses ke sumber daya produktif rendah.

Tampak ada kontradiksi di sini. Perdesaan, yang digadang-gadang menjadi penyelamat, ternyata tak ditopang fondasi yang kokoh. Oleh karena itu, seperti sektor lain yang perlu uluran tangan pemerintah pada masa pandemi, perdesaan dan pertanian pun sama. Dalam jangka pendek, sebagian dari Rp 695 triliun dana untuk penanganan Covid-19 perlu dialokasikan buat pertanian. Perlu pula dipastikan akses petani terhadap input produksi (bibit, pupuk, obat-obatan) dan modal kerja serta jaminan pasar agar aktivitas produksi tetap berlangsung.

Dalam jangka menengah-panjang, pembangunan perdesaan tetap relevan. Perlu upaya sistematis dalam merakit kebijakan penyambung industri pengolahan yang berkaitan dengan pertanian. Redistribusi modal dalam bentuk dana desa sejak 2014 mesti dibarengi redistribusi aset lahan. Dari sisi petani, tanah, modal, pengetahuan, teknologi, dan akses pasar menjadi kebutuhan primer agar mereka berdaya. Dana desa memang penting, tapi itu tidaklah cukup. Janji Jokowi untuk membagikan lahan harus ditunaikan.

Pembangunan perdesaan dapat dilakukan dalam skala kawasan. Desa didesain terintegrasi dengan industri pengolahan. Sumber daya ekonomi sebisa mungkin ditahan desa dan hanya keluar setelah melalui proses penciptaan nilai tambah. Suntikan inovasi dan adopsi teknologi menjadi keniscayaan agar nilai tambah dan dampak berganda sebesar-besarnya dinikmati masyarakat perdesaan. Jika hal ini bisa dilakukan, urbanisasi dapat ditekan dan posisi desa tidak lagi inferior. Desa akan menjanjikan nilai tambah dan kehidupan yang lebih baik. Ini akan menjadi daya tarik bagi lulusan perguruan tinggi untuk kembali ke desa.

Langkah ini harus didasari kebijakan makroekonomi, politik fiskal, moneter, keuangan, perdagangan, dan investasi yang memihak serta menjadikan desa sebagai arus utama pembangunan. Hal yang tak kalah penting adalah membalik arah pembangunan: dari sektor non-tradable yang padat modal, teknologi, dan pengetahuan ke sektor tradable yang padat tenaga kerja dan berbasis lokal. Pembangunan selama ini telah menciptakan kesenjangan kota-desa, keterbelakangan desa, dan marginalisasi ekonomi desa. Hal ini harus dihentikan dengan mengubah orientasi tersebut agar perdesaan dan pertanian jadi berdaya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus