Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada realitas politik yang menarik menjelang kontestasi politik lokal pemilihan kepala daerah di tanah Papua. Majelis Rakyat Papua (MRP) menyuarakan agar calon kepala daerah di Bumi Kasuari, yang kini memiliki enam provinsi, berasal dari orang asli Papua. Tuntutan MRP ini pun telah menggelinding ke Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suara yang diperjuangkan MRP ini sungguh berbeda dengan aturan calon gubernur dan wakil gubernur dalam Undang-Undang Otonomi Khusus Papua. Dalam Pasal 12 huruf a undang-undang ini disebutkan gubernur dan wakil gubernur adalah orang asli Papua. Sedangkan jabatan bupati dan wakil bupati serta wali kota dan wakil wali kota tidak diatur tegas dalam undang-undang ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mengapa MRP memperjuangkan aspirasi dan tuntutan masyarakat Papua agar semua calon kepala daerah yang bertarung di sana adalah orang asli Papua? Jawabannya adalah ini berpijak pada realitas politik aktual di tanah Papua, terutama setelah pileg lalu.
Ada dua alasan mendasar. Pertama, meski calon kepala daerah kabupaten/kota secara tersurat dan tersirat tidak diatur dalam undang-undang itu, dalam Pasal 28 ayat 3 dinyatakan rekrutmen politik oleh partai politik di wilayah itu dilakukan dengan memprioritaskan masyarakat Papua.
Dalam ayat 4 pasal itu tertulis partai politik wajib meminta pertimbangan kepada MRP dalam seleksi dan rekrutmen politik. Sedangkan dalam penjelasan Pasal 28 ayat 3 undang-undang itu dinyatakan rekrutmen politik memprioritaskan masyarakat asli Papua tidak dimaksudkan mengurangi sifat terbuka partai politik bagi setiap warga negara Republik Indonesia. Dalam penjelasan ayat 4 aturan itu disebutkan bahwa meminta pertimbangan MRP tidak berarti mengurangi kemandirian partai politik dalam melakukan seleksi dan rekrutmen politik.
Kedua, MRP mengajukan tuntutan ini didasari pada kenyataan sosio-politik tereliminasinya masyarakat Papua sesuai dengan hasil pemilihan legislatif lalu di seluruh kabupaten/kota, terutama di wilayah pesisir. Orang asli Papua terdegradasi perolehan kursinya di dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota. Minimnya perolehan kursi DPRD kabupaten/kota akan sangat berpengaruh pada proses pengambilan keputusan bagi kepentingan orang asli Papua di tingkat lokal.
Alienasi dan marginalisasinya pengambilan keputusan atas aspirasi masyarakat Papua ini dikhawatirkan akan berpengaruh signifikan pada kebijakan afirmatif orang asli Papua. Sementara itu, realitas menunjukkan, baik dari aspek demografi maupun sosial dan ekonomi, kota-kota di Papua telah didominasi oleh masyarakat pendatang. Inilah yang mengakibatkan masyarakat Papua cemas, teralienasi di atas tanah sendiri.
Kekhawatiran itu bukannya tanpa dasar. Kenyataan aktual menunjukkan, setelah pembentukan provinsi baru, arus migrasi penduduk dari luar ke Papua begitu deras. Ini seperti menguatkan konstatir sosiolog Ngurah Suryawan (Nyala yang Tak Padam: 2023) bahwa pembangunan dan pemekaran hanya dijadikan obyek oleh negara yang mengabaikan orang Papua, alam, dan kepentingannya. Akibatnya, mereduksi kebudayaan dan identitas orang Papua yang diperjuangkan melalui lembaga-lembaga politik seperti di DPRD kabupaten/kota maupun di lembaga politik lainnya.
Pemerintah nasional menyadari realitas ketimpangan demografi di tanah Papua ini. Namun kesadaran itu tidak dibarengi dengan kebijakan berkelanjutan yang berpihak kepada orang asli Papua. Bahkan pemerintah nasional terkesan membiarkannya.
Berdasarkan situasi itu, MRP sebagai lembaga representasi kultural orang asli Papua memperjuangkan kaveling politik dalam hal rekrutmen calon bupati-wakil bupati dan wali kota-wakil wali kota di pilkada 2024. Ini agar memperoleh basis legalitas hukum dan legitimasi politik. MRP melindungi dan berpihak pada orang asli Papua dengan hak-hak politik yang masih tersisa.
Ada dua skenario yang bisa diusulkan perihal calon kepala daerah kabupaten/kota di Papua. Skenario ini secara eksplisit dan implisit tidak tercantum dalam Undang-Undang Otonomi Khusus Papua. Pertama, celah hukum seperti isi Undang-Undang Otonomi Khusus Papua Pasal 28 ayat 3 dan 4 serta penjelasannya dapat menjadi dasar untuk mengusulkan aturan kepada institusi pembuat undang-undang dan peraturan, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah.
Bisa juga dikaitkan dengan momentum usulan Komisi II DPR kepada KPU tentang dua rancangan peraturan Komisi Pemilihan Umum perihal pencalonan gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota pada pilkada 2024, serta usulan tentang data pemilih di pilkada. Usulan tentang pencalonan kepala daerah menjadi entry point agar MRP dapat melakukan rapat dengar pendapat umum dengan Komisi II DPR. MRP menyampaikan usulan draf serta lampiran naskah akademik yang telah disiapkan dengan bobot politik yang didukung oleh institusi lain, seperti anggota Dewan Perwakilan Daerah dan DPR asal Papua.
Dengan dukungan politik ini, diharapkan Komisi II dapat bersama Kementerian Dalam Negeri, Badan Pengawas Pemilu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu memberikan masukan agar rancangan Peratuan KPU mengakomodasi aspirasi MRP. Sehingga Peraturan KPU mengatur pencalonan bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota memperoleh basis legitimasi. Ada landasan yuridis formil dan materiil yang menjadi pedoman kerja KPU.
Jika peraturan KPU terbentuk sesuai dengan tuntutan MRP, akan menjadi amanat yang harus disampaikan kepada setiap partai politik. Tujuannya agar melaksanakan sungguh-sungguh aturan itu dalam seleksi dan rekrutmen calon bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota.
Namun, perlu digarisbawahi, sepanjang hal itu belum memperoleh landasan yuridis formal dan legitimasi politik, partai politik tidak akan mengurangi usaha yang sedang dilakukan oleh MRP. Realitas politik pencalonan yang selama ini dilakukan dengan mempertimbangkan faktor demografi hendaknya tetap berlangsung seperti sebelum adanya keputusan hukum yang mengikat. Perlu ada pertimbangan perihal ini di wilayah-wilayah yang jumlah orang asli Papua-nya hampir sebanding dengan pendatang.
Kedua, untuk jangka panjang, mesti ada konsolidasi untuk menyiapkan perubahan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua bersama DPR dan pemerintah. Kegiatan ini bisa dilakukan setelah pelantikan anggota DPR, DPD, DPR Papua, maupun DPRD kabupaten/kota dan MRP serta pemerintahan baru di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota hasil pilkada 2024.
Konsolidasi ini sekaligus untuk melakukan sinkronisasi undang-undang yang berkaitan, seperti Undang-Undang Otonomi Khusus Papua, Undang-Undang Pemilu, dan Undang-Undang Partai Politik, agar pencalonan kepala daerah kabupaten/kota di Papua memperoleh basis legalitas yuridis dan materil. Aturan perihal calon orang asli Papua ini secara tegas tercantum dalam Undang-Undang Otonomi Khusus Papua hasil perubahan ketiga yang dapat dijadikan dasar pada Pemilu 2029.
Pemikiran ini bukan untuk mendiskriminasi masyarakat non-Papua untuk tidak menjadi calon dalam pilkada. Namun, sebagai bangsa dan negara, sesuai dengan konstitusi, memerintahkan negara memberikan penghormatan dan penghargaan kepada satuan-satuan wilayah yang memiliki kekhususan dan keistimewaan. Tujuannya agar mereka tetap hidup dan berkembang di lokusnya, tanpa mengesampingkan komunitas sosial lain.
Hal ini bukan berarti pula rekrutmen politik orang asli Papua kemudian “dicap” tidak nasionalis. Justru di sinilah kekuatan bangsa dan negara semakin kokoh. Negara memberikan prioritas kepada orang asli Papua untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan politik terhadap dirinya. Sekaligus negara memberikan penghormatan untuk memproteksi martabat, harga diri, serta jati diri orang asli Papua, dan hak-haknya dalam ikatan nation-state Indonesia.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.