Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Orkestra Daulat Pangan

Pangan merupakan kebutuhan dasar dan hak asasi manusia.

8 Oktober 2019 | 07.14 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Aktivitas perdagangan kebutuhan bahan pokok di kawasan Pasar Senen, Jakarta, 28 Maret 2018. Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita memastikan stok pangan aman dan harga terkendali menjelang bulan Ramadhan yang jatuh pada Mei dan Lebaran pada Juni 2018. Tempo/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jojo
Mahasiswa Doktoral Ilmu Ekonomi Pertanian IPB University

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pangan merupakan kebutuhan dasar dan hak asasi manusia. Setiap orang berhak memperolehnya dalam jumlah layak, dengan kandungan gizi yang cukup, mutu dan kebersihan terjamin, serta harga terjangkau. Pemenuhan kebutuhan pangan tiap individu dijamin oleh konstitusi, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Undang-undang tersebut memberikan amanat kepada pemerintah guna mewujudkan kedaulatan pangan. Pemerintah diharapkan mampu mendongkrak kemampuan produksi pangan melalui penyediaan sarana produksi pertanian, di samping penyediaan keanekaragaman pangan yang aman, bermutu, dan bergizi, serta mewujudkan tingkat kecukupan pangan, terutama pangan pokok, dengan harga yang rasional dan terjangkau. Pemerintah juga diminta mempermudah akses rakyat terhadap pangan, selain meningkatkan nilai tambah dan daya saing komoditas.

Secara teknis, komitmen tersebut dibingkai dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 dengan target pencapaian dibagi dalam sektor pertanian, peternakan, dan perikanan. Namun, hingga di ujung duet pemerintahan Jokowi-JK, tanda-tanda daulat pangan terasa jauh panggang dari api.

Indikator daulat pangan suatu negara setidaknya memiliki empat kriteria. Pertama, bila total produksi pangan nasional lebih besar dari kebutuhannya. Kedua, semua bahan pangan, khususnya sembilan bahan pokok, tersedia dalam jumlah yang cukup, kualitas yang baik, aman untuk dikonsumsi, harga terjangkau, dan mudah diakses rakyat. Ketiga, semua produsen pangan (petani dan nelayan) hidup sejahtera. Keempat, keberlanjutan sistem usaha produksi pangan (pertanian tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, perikanan budi daya, dan perikanan tangkap), baik luas kawasan maupun produktivitasnya terpelihara dengan baik.

Namun pemerintah cenderung memilih jalan pintas lewat impor ketimbang memeras keringat memperbaiki sektor hulu (produksi). Imbasnya, impor pangan kian ugal-ugalan. Indonesia merupakan importir pangan terbesar ketiga di dunia. Tiap tahun kita mengimpor sedikitnya 1 juta ton beras, 2 juta ton gula, 1,5 juta ton kedelai, 1,3 juta ton jagung, 10 juta ton gandum, 600 ribu ekor sapi, dan 3 juta ton garam. Sekitar 70 persen buah-buahan yang kini beredar di pasar juga berasal dari impor. Lebih buruk lagi, negara ini, yang memiliki potensi produksi perikanan terbesar di dunia (100 juta ton per tahun), justru sejak Juni 2016 membuka keran impor untuk semua jenis ikan (Dahuri, 2018).

Dampak makronya, defisit perdagangan sektor pangan kian lebar. Basis Data Ekspor Impor Kementerian Pertanian 2014-2018 menunjukkan, defisit neraca pangan empat tahun terakhir mengalami kenaikan. Impor 21 komoditas subsektor tanaman pangan sebesar 18,17 juta ton (2014). Volume impor naik menjadi berturut-turut 19,27 juta ton, 20,69 juta ton, 20,52 juta ton, dan 22,26 juta ton dari 2015 hingga 2018.

Indonesia kian nyaman sebagai net importer, tempat tumbuh subur para pemburu rente, dan hal ini berimbas pada total defisit perdagangan senilai US$ 8,57 miliar pada 2018. Sementara itu, pada periode Januari-Juni 2019, total defisitnya sebesar US$ 1,93 miliar, meningkat 60,83 persen dibanding periode yang sama pada 2018 (year on year). Adapun defisit neraca transaksi berjalan (CAD) naik, dari US$ 7 miliar ke US$ 8,4 miliar pada kuartal II 2019.

Bukan kebetulan Indonesia menjadi importir. Berawal pada 1997-1998, malapetaka mendera dunia pertanian kita. Ketika itu Indonesia harus patuh kepada Dana Moneter Internasional (IMF) dan dimulailah liberalisasi pasar segala sektor, termasuk pangan. Aneka subsidi dicabut, tidak ada lagi perlindungan produk petani dari serbuan impor. Hasil panen merugi, tidak ada insentif. Bila ada untung, nilai keuntungan tak sebanding dengan keuntungan komoditas lain. Maka, beralihlah petani ke profesi lain yang lebih menguntungkan. Dampaknya, ketergantungan pada impor pangan kian parah dan berlangsung hingga sekarang.

Ketergantungan pada pangan impor, yang dikontrol negara kuat, membuat bangsa ini berdaya saing rendah dan semakin rapuh. Tanpa sumber daya manusia yang sadar akan urgensi pangan dan pertanian, bangsa ini hanya akan menjadi bulan-bulanan negara pemegang kendali politik pangan global. Ini sejalan dengan hasil kajian FAO (2002) bahwa negara dengan jumlah penduduk lebih dari 100 juta akan sangat sulit menjadi negara maju, makmur, dan berdaulat bila kebutuhan pangannya bergantung pada impor.

Kerugian dari pangan impor pun sangat besar, dimulai dari menguras devisa, membunuh daya saing petani/nelayan, dan memandulkan sektor pertanian, kelautan, serta perikanan, yang seharusnya menjadi keunggulan kompetitif bangsa. Sudah sepatutnya pemerintah sekarang menata kembali strategi untuk mewujudkan kedaulatan pangan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus