Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Berita Tempo Plus

Ketimpangan Pajak Pekerja dan Ultrakaya

Pajak penghasilan yang dibayar pekerja lebih besar daripada pajak penghasilan final yang dinikmati orang kaya. Mengapa terjadi?

14 Juli 2023 | 00.00 WIB

Ilustrasi: Tempo/Imam Yunni
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/Imam Yunni

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Ada ketimpangan antara pajak pekerja dan pajak dari kaum ultrakaya.

  • Berkaitan dengan perbedaan perlakuan pajak terhadap penghasilan aktif dan pasif.

  • Pemerintah perlu menerapkan sistem pajak yang lebih adil.

Irvan Tengku Harja
Peneliti Prakarsa dan Anggota Komite Khusus Isu Keuangan Civil 20 India 2023

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Kementerian Keuangan mencatat penerimaan pajak penghasilan Pasal 21 (PPh 21) mencapai Rp 92,33 triliun, hampir dua kali lipat dari jumlah pajak penghasilan final yang sebesar Rp 47,55 triliun. Satu dari sejumlah faktor yang menyebabkan perbedaan itu adalah asimetri antara beban pajak pekerja dan pajak orang kaya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Pekerja hidup dari penghasilan aktif (active income) yang diperoleh dari kerja aktif (labour). Sedangkan individu-individu dengan kekayaan ultra-tinggi (UHNWI) dengan kekayaan bersih (net worth) sebesar US$ 30 juta atau lebih (Knight Frank, 2023) biasa menghimpun kekayaan dari penghasilan pasif (passive income) yang timbul dari investasi, sewa-menyewa, royalti, dan aset-aset kekayaan lain yang tidak perlu menjalankan perkakas kerja.

Negara memang menggunakan sistem perpajakan progresif. Semakin tinggi penghasilan yang diperoleh, semakin besar proporsi pajak yang dibayar. Namun penerapannya belum merata bagi seluruh wajib pajak orang pribadi (WPOP). Masalahnya, penghasilan aktif dan pasif diperlakukan dengan sistem pajak yang berbeda.

Diskrepansi Beban Pajak

Penghasilan pekerja dikenai PPh 21 dengan tarif pajak progresif. Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan membagi lima lapisan penghasilan kena pajak (PKP). PKP Rp 0-60 juta dikenai tarif 5 persen. PKP Rp 60-250 juta dikenai tarif 15 persen. PKP Rp 250-500 juta dikenai tarif 25 persen. PKP Rp 500 juta hingga Rp 5 miliar dikenai tarif 30 persen. Adapun PKP lebih dari Rp 5 miliar dikenai tarif 35 persen.

Berbeda dari penghasilan aktif, penghasilan pasif kebanyakan menjadi obyek PPh final. Sumber penghasilan pasif berikut PPh-nya di antaranya meliputi penjualan saham di bursa efek dengan tarif PPh 0,1 persen. Buyback emas dengan tarif 1,5-3 persen. Pengalihan hak atas tanah atau bangunan dengan tarif 1-2,5 persen. Sewa tanah atau bangunan dengan tarif 10 persen. Dividen dengan tarif 10-20 persen. Bunga atau diskonto dari obligasi dengan tarif PPh 5-20 persen. Bunga deposito serta diskonto Surat Perbendaharaan Negara dan Sertifikat Bank Indonesia dengan tarif 20 persen.

Perbedaan rentang tarif pajak atas penghasilan aktif dan pasif mencerminkan ketimpangan tarif pajak. Tarif atas penghasilan aktif berada pada rentang 5-35 persen, sedangkan sumber-sumber penghasilan pasif terentang dari 0,1 hingga 20 persen.

Di hadapan penghasilan pasif, sistem pajak progresif bak macan ompong. Pasalnya, ragam penghasilan pasif dengan variasi tarif PPh finalnya tidak diperhitungkan sebagai penghasilan total dalam setahun, sebagaimana diberlakukan pada PPh 21 berdasarkan struktur tarif progresif. Kuat diduga bahwa rasio pembayaran pajak atas jumlah penghasilan si pekerja bisa lebih besar dibanding rasio pembayaran pajak atas penghasilan si ultrakaya.

Lagi pula, ada pengecualian pajak terhadap tiga obyek penghasilan pasif. Pertama, pembebasan pajak atas warisan dalam satu garis keturunan. Padahal besar kemungkinan individu menjelma menjadi ultrakaya karena warisan. Di sisi lain, menurut Thomas Piketty (dalam Darussalam et al, 2019), warisan adalah salah satu kontributor utama ketimpangan kekayaan.

Kedua, pembebasan pajak atas dividen yang diinvestasikan di dalam negeri dalam jangka waktu tiga tahun. Investor, yang dapat menggadaikan efeknya untuk pinjaman guna menambah portofolio investasi, semakin cuan dengan pembebasan pajak atas dividen itu.

Ketiga, pengecualian pajak atas pengalihan hak atas tanah atau bangunan (PHTB) kepada pemerintah. Tentu hal ini semakin merangsang daya ekonomi tuan tanah untuk menambah jumlah patok tanahnya guna mendukung proyek infrastruktur fisik pemerintah.

Ketimpangan tarif pajak atas penghasilan aktif dan penghasilan pasif ini bertentangan dengan asas daya pikul pemungutan pajak. Menurut W.J. Langen (dalam Mustaqiem, 2014), asas daya pikul berarti semakin tinggi penghasilan, semakin tinggi pajak yang dibebankan. Boleh jadi seorang ultrakaya menyetor pajak lebih besar daripada seorang pekerja secara nominal, tapi pekerja memikul beban pajak lebih berat ketimbang si ultrakaya.

Pajak Berkeadilan

Steven M. Sheffrin (2013) menyebutkan sistem pajak yang adil (tax fairness) mensyaratkan keadilan vertikal (vertical equity), yaitu besar-kecilnya beban pajak mengikuti besar-kecilnya penghasilan dan kekayaan si wajib pajak. Berpijak pada gagasan Sheffrin itu, demi keadilan pajak di Indonesia, dua langkah kebijakan perlu ditempuh. Pertama, peningkatan tarif pajak atas beragam penghasilan pasif. Jika pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat berani menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN), mengapa tidak berani menaikkan tarif PPh final?

Kedua, penerapan pajak kekayaan (wealth tax) guna mengurangi disparitas daya pikul pajak sekaligus untuk menambah penerimaan pajak. Prakarsa (2022) memperkirakan penerimaan pajak kekayaan mencapai Rp 78,5 triliun dari 4.714 orang ultrakaya dengan kekayaan lebih dari Rp 144 miliar.

Dua kebijaksanaan ini hendaklah dimaknai sebagai prakarsa memanifestasikan sila kelima Pancasila dalam sistem perpajakan nasional.



PENGUMUMAN

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak, foto profil, dan CV ringkas.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Irvan Tengku Harja

Irvan Tengku Harja

Peneliti PRAKARSA

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus