Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Panji dan Tuduhan ’Penculikan’ Itu

20 Juni 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AKSI gerakan yang dikenal sebagai Negara Islam Indonesia sudah sangat mengganggu masyarakat dan mesti tegas dihadapi pemerintah. Tanpa sikap tandas, niscaya makin banyak korban berjatuhan. Dikhawatirkan bertambah pula jumlah orang tua yang kehilangan anaknya, akibat termakan mimpi negara Islam yang terus diembuskan para pemimpin gerakan ini. Padahal sudah sering terdengar kesaksian bahwa gerakan ini hanya kedok mengumpulkan uang, yang cuma dinikmati segelintir orang di pucuk gerakan.

Yang sangat mencemaskan, keuntungan materi bagi sedikit orang itu harus ditebus pengorbanan besar orang lain. Banyak laporan orang tua yang menyatakan ”penculikan” dan ”proses cuci otak” sudah mengubah perilaku anak mereka secara drastis. Anak-anak yang menjadi pengikut gerakan NII Komandemen Wilayah 9 praktis tak lagi menghiraukan bimbingan orang tua. Maka Panji Gumilang, yang menurut kesaksian dan sejumlah dokumen disebut sebagai imam, mestilah segera diperiksa untuk menjelaskan aksi gerakan ini—walau Panji selalu membantah keterlibatannya.

Semua harus diungkap untuk mencegah kerusakan lebih jauh. Pola perekrutan gerakan itu mesti dipelajari. Cara mereka mengindoktrinasi pengikut, antara lain dengan memutarbalikkan ayat-ayat Al-Quran, harus ditangkal. Meluruskan doktrin yang ditanamkan ketika anak-anak muda itu dibaiat menjadi warga NII, sehingga yang bukan warga NII dianggap kafir dan merupakan musuh, perlu waktu tak sebentar. Anak-anak muda ini memerlukan semacam detoksifikasi untuk kembali percaya bahwa ajaran Islam sangat menekankan penghormatan dan cinta kepada orang tua.

Ini sebuah pekerjaan besar. Sebuah lembaga penelitian menghitung ada 500 ribu anak muda pengikut Negara Islam Indonesia. Jumlah itu saja, dalam kalkulasi politik, layak dipertimbangkan. Belum lagi dari sisi intelektualitas. Kebanyakan anak muda itu mahasiswa, lapisan masyarakat dengan potensi besar menjadi pemimpin masa depan.

Beberapa waktu lalu, misalnya, terbetik kabar sejumlah mahasiswa dari sebuah universitas di Malang dibaiat menjadi warga NII. Mereka kemudian dipaksa menyerahkan uang puluhan juta rupiah sebagai ”uang pendaftaran” menjadi anggota NII.

Kisah serupa diungkapkan Al-Chaidar dalam bukunya, Sepak Terjang KW 9: Abu Toto Menyelewengkan NKA-NII Pasca S.M. Kartosoewirjo. Buku itu mengupas cukup detail penyelewengan dalam gerakan berkedok Islam ini, lewat seorang perempuan yang disamarkan sebagai Fatimah Zahra. Lantaran gaji sebagai pelayan toko tak cukup untuk membayar infak sebagai anggota NII, perempuan ini terpaksa jual diri. Fatimah takut dipecat sebagai warga NII bila tak membayar infak.

Penggalangan dana dilakukan dengan ”cerdik” oleh Panji Gumilang lewat struktur organisasi yang ia ciptakan layaknya sebuah pemerintahan. Kepada majalah ini, seorang bekas anak buah Panji Gumilang bercerita, ketika menjadi camat dalam struktur NII, ia ditargetkan mengumpulkan Rp 25 juta sebulan. Untuk prosesi baiat, ia wajib menyetor Rp 20 juta. Diduga segala kemewahan dan harta yang mengelilingi sang imam—rumah berlantai tiga, kolam renang, anak-anak yang bersekolah di luar negeri—didapatkan dari penggalangan seperti itu.

Sebenarnya, setelah polisi menggelar Operasi Kresna pada 2008, indikasi keterlibatan Panji Gumilang harus secepatnya ditindaklanjuti. Rekomendasi Kepala Kepolisian RI saat itu, Jenderal Sutanto, kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sesungguhnya memerlukan tindakan lanjutan berupa pemeriksaan terhadap Panji. Sayang, tak ada tindakan memadai ketika itu. Saat ini, sebagai Kepala Badan Intelijen Negara, Sutanto bisa meneruskan investigasinya.

Kepolisian juga perlu berdiri paling depan dalam usaha menekan NII. Sesudah enam orang ditangkap di Semarang, akhir Mei lalu, dan ditemukan dokumen aliran dana ke alamat Panji Gumilang, semestinya sudah lengkap alasan untuk memeriksanya. Kedekatan Panji dengan sejumlah tokoh di panggung politik nasional, termasuk jajaran militer dan intelijen, tidak boleh menyurutkan langkah polisi memanggil pemimpin Pondok Pesantren Al-Zaytun itu.

Panji Gumilang dan KW 9, seperti hasil penelusuran majalah ini, dilahirkan demi kepentingan politik. Pemerintah Orde Baru rupanya memerlukan tokoh seperti Panji untuk menangkal gerakan pengikut Kartosoewirjo, yang juga ingin mendirikan negara Islam, sekaligus membentuk jaringan baru.

Semua privilese yang diberikan Orde Baru itu mesti dihentikan, termasuk ”pembiaran” terhadap gerakan ini untuk berkembang biak merekrut anggota baru. Pemerintah wajib menghentikan gerakan NII. Negara tak boleh gagal melindungi warga negara, terutama orang tua yang cemas anaknya ”diculik” gerakan bertopeng Islam ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus