Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Cari Angin

Teguran

Cacat etik itu sah. Bayangkan jika pemimpin yang lahir dari kecacatan itu fotonya kita pasang sebagai simbol negara.

31 Maret 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/Kuswoyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HAKIM konstitusi Anwar Usman kembali dinyatakan melanggar kode etik dalam sidang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, Kamis, 28 Maret lalu. Dia dikenai sanksi teguran tertulis. Semacam apa hukuman itu? Banyak orang tidak tahu, tapi yang pasti kesannya ringan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesalahan Anwar Usman adalah ngeyel dan menyepelekan sanksi yang dikenakan kepadanya oleh Majelis Kehormatan MK (ad hoc) yang diketuai Jimly Asshiddiqie. Kasusnya sangat serius, yakni terjadi saat Anwar menjabat Ketua MK. Mahkamah mengubah seenaknya pasal Undang-Undang tentang Pemilu soal batas usia calon presiden dan wakil presiden. Syarat usia paling rendah 40 tahun oleh MK ditambahkan klausa "berpengalaman atau sedang menjabat kepala daerah”. Dengan mengutak-atik pasal yang bukan wewenang MK ini, loloslah Gibran Rakabuming Raka menjadi calon wakil presiden. Gibran adalah keponakan Anwar, juga putra sulung Presiden Joko Widodo.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Untuk kesalahan yang maha-dahsyat ini, sang paman diberhentikan sebagai Ketua MK. Ternyata Anwar Usman ngeyel. Lewat jumpa pers, dia menolak diberhentikan, bahkan kemudian membuat gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Ulahnya dilaporkan sejumlah aktivis. Lalu Majelis Kehormatan MK, yang sudah permanen dengan ketua I Dewa Gede Palguna, akhirnya menjatuhkan sanksi teguran tertulis itu. Para pelapor sebenarnya menghendaki sanksi lebih keras: Anwar diberhentikan sebagai hakim MK.

Opini publik juga mengharapkan sanksi lebih keras. Kasus ini menjadi noda berkepanjangan. Kita bisa lihat bagaimana para pakar hukum tata negara berdebat saat melakukan tugas sebagai pembela instansi yang berseteru dalam sidang hasil pemilihan umum di MK saat ini. Sementara dulu mengecam keputusan MK yang meloloskan Gibran, tiba-tiba bisa berbalik hanya karena kini membela pasangan calon yang mendukung Gibran. Para pengacara kondang yang membela Prabowo-Gibran berkoar-koar menuduh gugatan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud salah kamar serta harus ditolak MK. Alasannya, itu bukan wewenang MK. Tapi mereka tidak mempersoalkan kewenangan MK yang seharusnya tak bisa mengubah pasal dalam undang-undang ketika meloloskan Gibran. Rupanya berlaku hukum "membela yang bayar", bukan "membela yang benar" seraya mengembalikan muruah MK.

MK pun kini dalam posisi sulit menjaga muruahnya. Menolak gugatan yang diajukan pasangan calon 01 dan 03 dengan dalih bukan wewenang MK tapi membiarkan cacat konstitusi serta pelanggaran etik tanpa koreksi, yang justru dijadikan keuntungan oleh pasangan calon 02, adalah pilihan berat. Meloloskan pasangan calon 02 tanpa catatan apa pun akan membuat sepanjang lima tahun kita mempunyai pemimpin negara yang cacat konstitusi. Kalaupun cacat itu dikesampingkan dengan berbagai dalih (yang bisa dicari-cari), catat etik tak bisa dikesampingkan. Cacat etik itu sah dan sumbernya sudah dihukum. Bayangkan jika pemimpin yang lahir dari kecacatan itu fotonya kita pasang sebagai simbol negara.

Adakah cara lain untuk mengembalikan muruah MK sekaligus negara ini? Misalnya, Gibran mengundurkan diri secara sukarela dan Prabowo mencari penggantinya tanpa ada pemilu ulang. Oh, itu hal yang sangat kecil kemungkinannya, nyaris mustahil. Bisa menimbulkan kehebohan baru meskipun itu jalan tengah dari tuntutan menggugurkan pasangan Prabowo-Gibran.

Mengundurkan diri secara sukarela tak ada dalam kamus bangsa kita. Jangankan wakil presiden yang merasa sudah dipilih secara benar—tak ada intimidasi aparat ataupun kucuran bantuan sosial—berharap hakim konstitusi mundur karena dua kali melanggar etik saja ibarat menggantang asap. Bisa-bisa Anwar Usman berdalih: "Saya kan baru dua kali melanggar etik. Ketua KPU sudah empat kali melanggar." Ha-ha-ha… benar juga. Ketua Komisi Pemilihan Umum Hasyim Asy'ari empat kali dinyatakan melanggar etik oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu. Sanksinya berat, dua di antaranya "peringatan keras terakhir". Terakhir kok bisa berulang?

Barangkali kita dapat teguran dari rumput yang bergoyang, kenapa Pemilu 2024 bisa runyam begini.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Putu Setia

Putu Setia

Penulis tinggal di Bali. Mantan wartawan Tempo yang menjadi pendeta Hindu dengan nama Mpu Jaya Prema

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus