Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERHARAP Prabowo Subianto serius melindungi hak asasi manusia sama absurdnya dengan pungguk merindukan bulan. Dalam Asta Cita, delapan misi Prabowo menjadi Presiden Indonesia, soal hak asasi hanya disinggung secara umum. Tak mengherankan jika dalam pidato pelantikannya pada 20 Oktober 2024, Prabowo juga sama sekali tak menyebutkan frasa hak asasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Belum genap 100 hari pemerintahan Prabowo, soal hak asasi bukan hanya diabaikan, melainkan juga dicoba digembosi. Usaha-usaha Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menghidupkan ingatan publik akan penegakan hukum terhadap pelanggaran HAM berat masa lalu dicoba dianulir dengan pelbagai cara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah Menteri Koordinator Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra menyatakan peristiwa 1998 bukan pelanggaran HAM berat, kini ada lobi masif kepada Komnas HAM agar menghentikan penyelidikan pembunuhan Munir Said Thalib serta pembantaian warga Aceh Timur pada 2001. Komnas HAM tengah merampungkan penyelidikan dua kasus itu dan hendak menetapkannya sebagai pelanggaran HAM berat.
Hukum Indonesia hanya mengenal dua jenis pelanggaran HAM berat dari empat jenis yang diatur dalam Statuta Roma. Dua jenis pelanggaran HAM berat menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM adalah kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Namun penjelasan Pasal 104 Undang-Undang HAM memasukkan pembunuhan di luar putusan pengadilan (extrajudicial killing) sebagai kejahatan HAM berat.
Semua usaha menjalankan hukum dan undang-undang itu kini dicoba dihadang oleh para pejabat pemerintahan, bahkan oleh mereka yang menjadi korban pelanggaran HAM berat itu. Mugiyanto Sipin, korban penculikan 1998 yang memimpin Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia, membujuk keluarga korban penculikan untuk menerima dana santunan dan penyelesaian nonyudisial. Sebagai imbalan, Mugiyanto kini mendapat jabatan Wakil Menteri HAM.
Usaha menggembosi penyelidikan Komnas HAM terhadap kejahatan-kejahatan kemanusiaan masa lalu, sekali lagi, tidak mengejutkan. Para pembantu Prabowo tentu hendak berterima kasih atas pemberian kekuasaan kecil di pemerintahan. Setidak-tidaknya cari muka kepada Prabowo. Sebab, Prabowo adalah jenderal tentara yang terlibat penculikan aktivis pada 1998. Komnas HAM telah memasukkan peristiwa yang menandai reformasi itu sebagai pelanggaran HAM berat.
Prabowo tentu punya kepentingan membersihkan namanya dari noda gelap masa lalunya itu. Ia selalu mengklaim telah mengembalikan para aktivis yang diculik, termasuk Mugiyanto serta Nezar Patria, yang kini menjabat Wakil Menteri Komunikasi dan Digital. Adapun mereka yang tak kembali hingga kini, Prabowo mengklaim tak menculiknya.
Karena itu, sebagai orang yang bermasalah dengan HAM, Prabowo tak akan memprioritaskan soal ini. Sama seperti lobi menunda penyelesaian pelanggaran HAM berat pada masa 100 hari pemerintahannya, pembentukan Kementerian HAM juga gimik semata. Apa yang bisa dilakukan kementerian ini jika di balik itu ada lobi-lobi menghentikan penegakan hukum pelanggaran HAM berat masa lalu?
Maka, karena sudah jelas pelindungan hak asasi tak bisa diharapkan dilakukan oleh negara pada era Prabowo Subianto, peminggiran terhadap lembaga-lembaga HAM yang independen pun akan terjadi sama gawatnya. Karena itu, lembaga-lembaga HAM perlu memperkuat diri—dalam hal kapasitas personel dan kelembagaan, menjalin aliansi yang luas, dan membangun kepercayaan publik.
Sebab, pelanggaran HAM berat harus ditangani dengan hukum agar Indonesia punya ingatan kolektif supaya kejadian serupa tak terulang di kemudian hari. Penyelesaian nonyudisial bisa melengkapi sebagai jalan pemulihan bagi para korban. Dengan mengutamakan penyelesaian secara hukum, terhindar pula impunitas bagi para pelakunya, kendati mereka menjadi penguasa atau berada di lingkar kekuasaan.