Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Langkah pemerintah memutus layanan Internet merupakan perbuatan melanggar hukum.
Pemblokiran Internet bertentangan dengan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik.
Pemblokiran Internet justru mematikan akses masyarakat untuk memperoleh informasi.
Dengan dalih apa pun, keputusan pemerintah membatasi akses Internet di Provinsi Papua dan Papua Barat sejak awal tidak bisa dibenarkan. Selain tidak memiliki dasar hukum yang kuat, pemblokiran Internet di dua provinsi itu jelas mengancam kebebasan berekspresi dan memperoleh informasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kini terbukti, langkah pemerintah memperlambat akses yang diikuti dengan pemutusan layanan Internet merupakan perbuatan melanggar hukum. Majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, dua hari lalu, memvonis Presiden Republik Indonesia serta Menteri Komunikasi dan Informatika bersalah atas pemblokiran tersebut. Putusan ini harus diapresiasi karena majelis hakim juga menyoroti penutupan akses Internet dari sudut hak asasi manusia, baik dari hukum nasional maupun kovenan internasional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selama persidangan, majelis hakim banyak menggali dasar hukum yang menjadi pertimbangan Kementerian Komunikasi dan Informatika menutup layanan Internet. Hakim menilai, jika ada informasi atau dokumen elektronik yang melanggar hukum, pembatasan dilakukan terhadap konten tersebut, bukan atas akses Internet secara keseluruhan. Pembatasan Internet justru melanggar Pasal 40 ayat 2a dan 2b Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang selama ini menjadi pijakan pemerintah.
Keputusan pemerintah memblokir Internet di Papua dan Papua Barat itu juga menabrak Artikel 19 Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Kovenan ini dengan gamblang menyebutkan bahwa pembatasan terhadap kebebasan berpendapat harus memenuhi aspek legalitas, legitimasi, dan kebutuhan. Ketiga aspek itu dibutuhkan untuk menguji apakah pembatasan yang dilakukan bertujuan melindungi kepentingan publik atau justru melanggar hak asasi orang lain.
Kenyataannya, keputusan pemblokiran pada Agustus-September tahun lalu setelah aksi unjuk rasa meledak di Bumi Cenderawasih tidak memenuhi ketiga persyaratan tersebut. Dari sisi legalitas, misalnya, perintah pembatasan Internet terbit hanya melalui siaran pers Kementerian Komunikasi dan Informatika, bukan melalui sebuah produk hukum yang spesifik. Siaran pers jelas tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Hak berekspresi dan menyampaikan pendapat juga tidak bisa dibatasi bila tak ada hak publik yang lebih luas yang ingin dilindungi. Tanpa legitimasi dan kebutuhan yang mendesak, pemblokiran Internet justru mematikan akses masyarakat untuk memperoleh informasi.
Monopoli informasi, dengan menempatkan pemerintah sebagai satu-satunya corong informasi, akan menyulitkan masyarakat menggali fakta yang sesungguhnya. Ini jelas bertentangan dengan semangat demokrasi.
Pemerintah seharusnya sadar pemblokiran secara gegabah bukanlah senjata yang tepat untuk melawan hoaks dan misinformasi. Maka, ketimbang sibuk membatasi informasi dengan memblokir Internet, pemerintah lebih baik mendorong penguatan literasi digital agar masyarakat mampu memilah informasi. Kebebasan berekspresi diperlukan untuk menjalankan prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam berdemokrasi. (*)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo