Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Indonesia dan Filipina sama-sama disibukkan oleh kegiatan pemilihan umum anggota legislatif, presiden, dan wakil presiden pada hari-hari ini. Situasi dan kondisi sosio-politik dan ekonomi kedua negara ini memiliki banyak kemiripan: utang luar negeri yang tinggi, kemiskinan, minimnya lapangan kerja, politik uang, korupsi-kolusi-nepotisme. Mantan penguasa Filipina dan Indonesia, Marcos dan Soeharto, juga sudah pergi dari takhta kekuasaan otoritarian mereka. Lalu, kehidupan politik demokrasi seperti apa yang kemudian terbangun di kedua negara bertetangga ini?
Untuk kasus Indonesia, Olle Tornquist, pengajar politik di Oslo University, memakai istilah "konsumen demokrasi" guna menunjukkan keterlibatan orang politik yang membangun demokrasi tapi demi kepentingan mereka sendiri. Sementara itu, mereka yang menjadi bagian dari gerakan "pro-demokrasi" kian terpinggirkan. Ben Anderson, pakar dari Cornell University, menggunakan terminologi cacique democracy guna memperlihatkan bagaimana para elite lokal di Filipina mengorganisasi kampanye untuk jabatan publik dengan basis hubungan keluarga besar dan jalinan patrimonial.
Sedikitnya ada tiga perspektif yang melihat kaitan pemilu dengan kehidupan politik (Benedict J.T.K., 1996). Pertama, pandangan faksional atau patron-klien. Politik di sini hanya diartikan sebagai jaringan dan hubungan personal yang berkaitan dengan kekeluargaan, perkoncoan, balas budi, pengaruh, dan uang. Ini amat terlihat saat pemilu berlangsung di Filipina dan Indonesia.
Di Filipina, keterlibatan ayah, ibu, anak, atau keponakan dalam politik merupakan potret yang sudah umum. Di sana ada keluarga Lacson dan Montelibanos dari Negros, Osmeòas dan Duranos dari Cebu, Aquinos dan Cojuancos dari Tarlac, serta Josons dan Diazez dari Nueva Ecija. Presiden Filipina Gloria Macapagal-Arroyo, yang tampil sebagai kandidat terkuat dalam pemilu kali ini, adalah putri Diosdado Macapagal, yang pernah menjadi Presiden Filipina. Di Indonesia, Keluarga Cendana adalah penguasa politik pada masa Orde Baru.
Kedua, pandangan demokrasi elite atau patrimonial. Pandangan ini, di samping mengakui adanya kaitan patron-klien atau faksional, melihat bahwa kalangan elite memakai cara-cara intimidasi, koersif, dan kekerasan dalam kiprah politiknya. Pelembagaan demokrasi yang dibangun hanya melahirkan dua sisi negatif. Di satu sisi, ia hanya memberikan ruang bagi elite lama untuk mengkonsolidasi diri. Di sisi lain, mereka, atas dasar demokrasi, pada akhirnya mendominasi seluruh aturan main yang ada.
Akibatnya, manipulasi dan berbagai kecurangan muncul. Di Filipina, kita akrab dengan istilah guns, goons, dan gold untuk memperlihatkan betapa pemilu sarat dengan politik uang dan kekerasan. Tiap calon didukung oleh pasukan bersenjata melebihi yang dimiliki satuan tugas partai politik di Indonesia, seperti Banser (Partai Kebangkitan Bangsa), Pemuda Ka'bah (Partai Persatuan Pembangunan), atau Brigas (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan).
Pandangan ketiga disebut sebagai pandangan neo-kolonial, yang melihat bahwa kalangan bisnis asing, lembaga internasional, dan negara adidaya (baca: Amerika Serikat) memiliki kepentingan atas dua negara tersebut melalui para elite politik domestik (nasional). Kita mengenal istilah democracy export untuk menunjukkan bagaimana demokrasi menjadi alat paling efektif untuk ikut menyingkirkan pemimpin nasional yang tidak sejalan dengan kepentingan asing.
Dalam soal bahaya terorisme, misalnya, Megawati dan Arroyo kelihatannya menjadi mitra yang baik bagi Amerika Serikat. Ketergantungan pada bantuan asing (baca: utang) melalui lembaga-lembaga donor menjadikan kedua negara ini amat rentan terhadap tekanan-tekanan eksternal. Dan biasanya, sebagai sisi baliknya, ada "biaya-biaya sosial" yang menjadi beban masyarakat.
Tentu tidak adil juga mengatakan bahwa masyarakat secara umum hanya merupakan obyek politik dari para elite. Banyak fakta politik yang menunjukkan bahwa masyarakat, sampai derajat tertentu, memiliki peran yang menentukan sebagai subyek politik. Merosotnya suara PDI Perjuangan dan Golkar secara drastis, meskipun tetap sebagai pemenang pemilu, menunjukkan bahwa tiga pandangan di atas tidak sepenuhnya benar.
Munculnya fenomena Partai Keadilan Sejahtera sebagai partai modern, tidak ada kaitannya dengan masa lalu, militan, dan bersemboyan anti-KKN adalah satu fakta yang mencerminkan bahwa masyarakat muslim pada umumnya kecewa dengan kinerja partai-partai Islam yang ada selama ini. Tak mengherankan bila perolehan suara partai-partai Islam dalam pemilu legislatif mengalami penurunan drastis. Figur-figur calon presiden dan calon wakil presiden dalam hari-hari ini juga mengalami dinamika yang amat cepat dan drastis.
Pilihan terhadap pemunculan kandidat presiden dan wakilnya di Indonesia sekarang benar-benar merupakan perhitungan politik yang memperhatikan reaksi masyarakat. Di Filipina pun kita menemukan fakta-fakta sosial yang relatif sama. Arroyo, yang dianggap belum terlalu berhasil memulihkan ekonomi Filipina, tentu tak sepadan jika harus digantikan oleh orang seperti Fernando Poe Jr., pesaing terkuat yang tak memiliki record dalam berpolitik sebelumnya. Perpaduan antara popularitas dan kapabilitas menjadi taruhan di sini, dan semua itu amat dihitung oleh para kandidat politik yang bermain.
Memang menarik melakukan perbandingan dua negara ini. Tapi, sejatinya, Filipina dan Indonesia lebih banyak memiliki perbedaan ketimbang persamaan. Ibarat memperbandingkan mangga dengan pisang. Kendati sama-sama buah, keduanya tetap saja berbeda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo