Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ini kenangan tahun 1999, tentang Hasyim Muzadi, diceritakan kepada saya oleh seorang kawan. Dalam acara hari ulang tahun Bung Karno di Blitar, Juni tahun itu, yang juga dihadiri Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, Hasyim Muzadi diminta memberikan sambutan. Dan dalam pidatonya, pengurus Nahdlatul Ulama ini menyatakan rasa terima kasihnya kepada PDIP. Untuk apa? "Karena telah mengizinkan partai orang NU, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), menang di Jawa Timur."
Semua orang tertawa. Hasyim, mewakili umat NU yang besar, lebih besar dari umat PDIP, setelahpura-puranyamengakui Jawa Timur sebagai "milik PDIP", kemudian men-smash mereka untuk kekalahan mereka. Waktu itu pemilu belum lama berlalu, dan di wilayah itu PKB (partai yang sedang getol-getolnya dibela Hasyim Muzadi) menang tipis atas partai Mbak Mega. Adegan itu dituturkan kepada saya untuk menggambarkan betapa Hasyim Muzadi, pemimpin para nahdliyin itu, adalah seorang yang bijak yang witty.
Tapi tidak demikian kesannya ketika tokoh ini berdiri di samping Megawati Soekarnoputri lima tahun kemudian, dalam acara pengumuman pasangan calon presiden dan wakil presiden PDIP di Patung Proklamasi, Jakarta, minggu pertama Mei lalu. Ia tidak kehilangan wibawa, memang. Tapi juga tidak tampil "besar". Kesan saya, ia seperti seorang pengikut. Senyumnya tetap sempurna, tapi pernah saya lihatdi layar kacaia sedikit menundukkan kepala, sekejap, di depan sang Ibu.
Ia seorang wakil, kinicalon wakildan terasa sedang menumpang di rumah orang. Ia masih tampak galak dalam pidato, tapi pernah sekali, atau dua, matanya lirak-lirik seperti sedang menepat-nepatkan diri dengan suasana. Kalau saja Megawati tidak sedang dalam keadaan down (ia menangis, terharu, kata penyiar TV), melainkan sedang mengacung-acungkan tangan dengan kaku, seperti biasanya, Hasyim bisa kelihatan kalah wibawa.
Menumpang di rumah orang, itulah memang kesan saya. Kesan seperti itu tidak muncul ketika, sebagai bandingan saja, menyaksikan Jusuf Kalla berada di kandang Partai Demokrat, dalam acara yang tidak sangat berbau partai. Atau Siswono Yudho Husodo yang mendampingi Amien Rais sebagai calon wakilnya, dalam sphere yang bahkan lebih terbuka.
Tidak, bukan maksud tulisan ini mengkritik tata penyelenggaraan acara pengumuman calon presiden-wakil presiden PDIP. Yang kita inginkan sekadar menunjukkan bahwa yang terkesan menumpang itu bukan hanya Hasyim Muzadi. Tetapi NU. Seluruh jemaah NU, yang acap dikatakan berjumlah 60-an juta itu, seakan dibawa Hasyim Muzadi men-dompleng PDIP. Mengapa?
Karena Hasyim dikenal sebagai Ketua Umum PBNU, dan hanya itu. Tidak seperti Abdurrahman Wahid, bahkan Salahuddin, maupun kiai-kiai yang memang sudah besar tanpa jabatan. Karena itu dengan ketua umumnya meloncat ke belakang Mbak Mega, "seluruh NU", tak boleh tidak, terasa sedang digiring ke Kandang Banteng (bukankah mereka memang sangat diharapkan memilih Ratu Banteng?).
Dan itu ratu, eh, kandang, bukan hanya berbeda dari "kandang kiai" dari segi nama, melainkan benar-benar dari segi isi. Pada zaman saya kecil dulu, menjelang Pemilu 1955, kalau ada orang Partai Nasional Indonesia (PNI, cikal-bakal PDI) ikut salat jemaah, pemuda-pemuda menggerundel, "Banteng kok masuk masjid." Karena itu PNI bikin kelompok sendiri, Jama'ah Muslimin namanya, disingkat Jamuskata Arab yang berarti kerbau. Toh tidak masyhurtidak ada kiai Jamus yang terpandang. Memang, PNI dikenal sebagai umat yang sedikitnya "tidak begitu santri". Jadi, apa yang dilakukan Hasyim Muzadi sekarang ini betul-betul lompatan yang tidak hanya antarorganisasi, tapi juga antarbudaya.
Dan itu bagus. Ya, asalkan jurusnya itu memang punya artidisambut antusiasme yang cukup dari para nahdliyin, yang dibuktikan dengan perolehan suara yang banyak untuk pasangan Mega-Hasyim dari mereka. Tapi itu baru yang pertama. Yang kedua, asalkan ada usaha lebih lanjut bagi pembauran kedua umatsebab memang di situlah baru langkah Hasyim, kalau mau dipahami di luar konteks pencarian jabatan (dan kalau memang diniatkan benar-benar), bisa dibanggakan. Konkretnya adalah dakwah NU di PDIPapalagi setelah pudarnya Jamus yang tadi. Jadi, partainya PDIP, organisasi massanya NUbisakah itu? Kalau tesisnya ialah NU "bisa ada di partai mana pun", tindakan yang diambil pimpinan pucuknya memang tidak semestinya hanya punya relevansi dengan dirinya seorangdan tak hanya relevansi politis.
Frase "NU bisa ada di partai mana pun" itu memang kedengaran lebih nyaring di saat-saat akhir ini. Ada keinginan yang bersilangan, misalnya antara pihak Gus Dur, yang ingin tetap maju sebagai presiden, dan pihak Hasyim Muzadi, yang diharapkan tidak menjadi saingan. Ada pula lamaran yang datang tidak hanya satu-dua kali kepada orang NUyang terakhir kepada pimpinan PBNU yang lain, Salahuddin Wahid. Juga, pikiran untuk menyusun pasangan alternatif baru dengan pihak non-PKB, yang misalnya melibatkan Khofifah Indar Parawansa.
Pertemuan Tim 9 PKB pada 9 Mei, dengan para kiai Langitan, kemudian memberikan solusi yang bijak dan bersifat merangkum semuanya. Diputuskan, Gus Dur tetap menjadi calon presiden dari PKB, tetapi pintu juga dibuka buat yang lain-lain (Salahuddin Wahid, Alwi Shihab, Mahfud Md., Khofifah Indar Parawansa, dan A.S. Hikam) untuk menerima tawaran Partai Golkar, sebagai calon wakil Wiranto, atau tawaran lain. Inilah bentuk demokratisasi yang seperti untuk pertama kalinya dibuka para kiai senior itu. Gus Dur tetap dituruti, tapi tak lagi memegang monopoli, dan langkah Salahuddin, bahkan Hasyim Muzadi, tiba-tiba memperoleh pintu. NU bisa berada di mana-mana.
Alhamdulillah. Dari semua peristiwa itu, yang paling kelihatan ialah titik berat yang selalu diberikan NU kepada faktor orang. Seakan menjadi tugas terpenting jam'iyah yang besar ini membantu menempatkan orang-orangnya dalam jabatan kepemimpinan. Seperti dikatakan Yahya C. Staquf, Wakil Sekjen DPP PKB, para kiai bangga dengan dilamarnya beberapa tokoh NU oleh calon-calon presiden.
Memang. Dengan mengecualikan Partai Keadilan Sejahtera, tentu menjadi calon presiden atau wakil presiden adalah obsesi semua organisasi massa dan khususnya organisasi politik. Bedanya, NU hampir tidak melihat garis pemisah antarpartai politik yang biasanya ditentukan oleh ideologi dan platform, kecuali bila ideologi itu nama lain buat agama. Apa platform NU, yang mestinya bisa kita baca dalam, misalnya saja, melihat PDIP?
Dan bila Golkar dinilai sebagai partai yang "baik-baik saja" (cukup banyak warga NU di sana), tidak adakah pertimbangan terhadap apa-siapa diri Wiranto? Bagaimana seorang Ketua PBNU yang Wakil Ketua Komite Nasional Hak Asasi Manusia seperti Salahuddin Wahid, yang dulu memimpin Tim Ad Hoc Penyelidikan Peristiwa Kerusuhan 13-15 Mei 1998 (kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II), dan memanggil Wiranto sebagai pejabat yang harus diperiksa, tetapi ditolak, sekarang justru menerima pinangan untuk menjadi calon wakilnya?
Padahal sang calon presiden juga menghadapi tuduhan pelanggaran hak asasi berat di Timor Timur? Tentu saja ini juga pertanyaan untuk Abdurrahman Wahid, kecuali kalau dia tidak merestui pasangan Wiranto-Salahuddin karena masalah itu.
Ada anggar-anggar yang diberikan K.H. Yusuf Hasyim, pengasuh Pesantren Tebuireng, Jombang, yang paman Gus Dur, mengenai partai yang selayaknya dipilih dan tidak dipilih. Ukurannya adalah proporsional dan tidak. Partai proporsional adalah yang mencerminkan realitas bangsa Indonesia yang mayoritas muslim. Baik PDIP maupun Golkar proporsional, karena 80 persen pendukungnya muslim. Juga PKB dan PAN. "Jangan pilih partai yang tidak proporsional," kata Pak Ud akhirnya.
Sejuk. Karena ukurannya luas, hampir seluas dunia. Tidak ada partai Islam, syariat Islam, partai kotor, partai bersih, partai reformis, partai Orde Baru. Semuanya bisa dimasuki, dilayani, diperbaiki kalau mungkin. Tak ada yang perlu bikin gundah. Agama sudah selesai, dan program insya Allah jalan sendiri. Tinggal kesalehan pribadi orang per orang. Maka, bila dari dulu orang melihat NU sebagai partai yang akomodatif, sebabnya ialah ini. Ia bisa lentuk dan lentur. Lunak, juga kepada korupsi. Bisa keras tapi hanya karena temperamen pribadi. Fanatik mengenai kelompoknya, tapi toleran kepada yang lain. Dan sangat bagus untuk penyatuan dan rekonsiliasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo