Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Polemik Pemisahan Direktorat Jenderal Pajak

Ide pemisahan Direktorat Jenderal Pajak dari Kementerian Keuangan mengemuka. Perlu dipikirkan dengan matang.

28 Maret 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Polemik Pemisahan Direktorat Jenderal Pajak

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Gagasan pemisahan Direktorat Jenderal Pajak dari Kementerian Keuangan mengemuka.

  • Ini seperti ide pembentukan Badan Penerimaan Pajak pada 2017.

  • Ide pemisahan perlu dipertimbangkan secara matang.

Haryo Kuncoro

Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta

Gagasan tentang pemisahan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dari Kementerian Keuangan mengemuka setelah merebaknya kasus pamer kekayaan pegawai pajak yang membetot perhatian publik. Status DJP sebagai lembaga yang dipimpin pejabat eselon I ini dianggap sudah waktunya untuk “naik kelas”, sejajar dengan kementerian demi penguatannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemisahan DJP secara kelembagaan ditujukan agar dapat menjadi institusi yang lebih mandiri dan efektif, seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia. Apalagi, pemisahan DJP dari Kementerian Keuangan sudah ada dalam visi-misi kampanye Presiden Jokowi pada 2014 dan program Nawacita.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wacana tersebut sejatinya bukan barang baru. Ide Badan Penerimaan Pajak (BPP) pada 2017, menyusul klaim keberhasilan program amnesti pajak pada 2016, juga tidak terwujud. Alasan untuk mengurangi tekanan politik pada Kementerian Keuangan tidak mampu ditebus dengan memberikan otonomi kepada BPP sebagai metamorfosis dari DJP.

Kemiripan cerita terjadi pada saat pembahasan Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (RUUKUP). Hasrat pemisahan DJP dari Kementerian Keuangan ketika itu sudah mencuat. Akan tetapi usulan tersebut kandas di tengah jalan karena kompromi politik antara pemerintah dan DPR.

Jika DJP memang hendak dipisahkan dari Kementerian Keuangan, pemerintah ataupun DPR seharusnya mengajukan RUUKUP baru untuk mengakomodasinya. Proses pembahasan RUUKUP akan memakan waktu panjang dan bisa saja hasilnya kembali kandas. Artinya, banyak energi akan terbuang percuma.

Sampai di sini, posisi struktural DJP di bawah Kementerian Keuangan dipandang masih pas. Kinerja DJP sejauh ini toh terbilang sudah bagus. Hal itu terbukti dari realisasi penerimaan pajak pada 2021 dan 2022 yang mampu melebihi target, kendati masih dalam masa pandemi Covid-19.

Argumen praktis di atas agaknya juga terkonfirmasi di tataran konseptual. Kementerian Keuangan, sebagai otoritas fiskal di Tanah Air, secara teoretis memang harus memiliki kontrol atas sumber penerimaan pemerintah (DJP) dan alokasi belanja negara (Direktorat Jenderal Anggaran).

Pemisahan DJP dari Kementerian Keuangan bisa mereduksi manuver kebijakan fiskal dalam upaya mendukung fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi perekonomian nasional. Intinya, kapasitas kebijakan fiskal menjadi pertaruhan besar atas pemisahan DJP dari Kementerian Keuangan.

Mengubah DJP sebagai lembaga setingkat kementerian berpotensi menciptakan masalah baru. Sebagai lembaga setingkat kementerian, DJP praktis menjadi lembaga politis. Konsekuensinya, pimpinan DJP adalah jabatan politik yang terbuka bagi kader partai politik, alih-alih pejabat profesional yang meniti karier dari bawah.

Pada titik ini, kredibilitas pelaksanaan kebijakan perpajakan menjadi titik sentralnya. “Penguasaan” partai politik atas DJP akan merecoki efektivitas kebijakan fiskal. Dengan logika itu pula, ide pemisahan DJP dari Kementerian Keuangan perlu ditinjau ulang agar DJP tetap diposisikan sebagai area yang bebas dari politik.

Otoritas pajak di negara yang demokrasinya sudah mapan, seperti Amerika Serikat, toh tetap berada di bawah Kementerian Keuangan. Tugas otoritas pajak di sana adalah mengelola keuangan pemerintah federal dengan mengumpulkan pajak dan membayar tagihan pemerintah dan utang publik. 

Kewenangan membuat undang-undang keuangan dan pajak tetap berada di ranah kementerian keuangan pemerintahan federal. Itu pun masih memerlukan persetujuan dari Kongres dan parlemen. Artinya, ada pemisahan yang tegas antara lembaga eksekutor dan institusi konseptor.

Untuk dalam negeri, Kementerian BUMN bisa menjadi perbandingannya. Dulu Kementerian BUMN bermula dari Direktorat Jenderal BUMN di bawah Kementerian Keuangan. Penaikan status menjadi Kementerian BUMN menghadapkannya langsung dengan DPR. Logika BUMN sering tidak sinkron dengan logika politik tadi.

Alih status Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menjadi Kementerian Investasi juga memberikan pelajaran yang sangat berharga. BKPM memiliki kedudukan setingkat kementerian, tapi tidak memiliki kewenangan untuk membuat undang-undang. Artinya, BKPM pada saat itu tetap diposisikan sebagai lembaga pelaksana undang-undang.

Kenaikan status BKPM menjadikan Kementerian Investasi kini memiliki kewenangan untuk membuat undang-undang. Meski demikian, benturan kepentingan sangat mungkin terjadi. Bagaimana Kementerian Investasi dapat membuat undang-undang (tentang investasi, misalnya) jika dirinya sekaligus menjadi pelaksananya?

Kembali kepada pokok persoalan, ulah pegawai pajak yang pamer harta tidak lantas diselesaikan dengan cara pemisahan DJP dari Kementerian Keuangan. Pepatah lama mengajarkan bahwa menghalau tikus yang bersembunyi di lumbung padi tidak harus dilakukan dengan membakar lumbungnya.


PENGUMUMAN

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan Anda ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Haryo Kuncoro

Haryo Kuncoro

Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus