Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Penggede di Balik Impor Daging

27 Juni 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Semestinya, lonjakan harga daging sapi pada Ramadan tahun ini sudah diantisipasi pemerintah jauh-jauh hari. Bukan sesuatu yang sulit diprediksi: pada bulan puasa dan menjelang Hari Raya, kebutuhan daging meningkat. Permintaan yang lebih besar daripada pasokan akan mengerek harga-demikian hukum pasar berkata. Yang membuat kita semakin sulit paham, kenaikan harga ini tak pula ujuk-ujuk terjadi. Sejak Agustus tahun lalu, tanda-tanda meroketnya harga sudah terlihat. Sayangnya, pemerintah tak cergas mengambil tindakan.

Hingga akhir minggu kedua bulan puasa, harga daging sapi masih berkisar antara Rp 115 ribu dan 130 ribu per kilogram. Presiden Joko Widodo meminta harga diturunkan sampai Rp 80 ribu. Jokowi merujuk pada harga daging sapi di Malaysia dan Singapura yang di bawah Rp 90 ribu per kilogram. Semestinya harga daging di Indonesia tak berbeda jauh.

Kenaikan harga terjadi karena kelangkaan pasokan sebagai akibat kebijakan pemerintah membatasi impor sapi. Pada Agustus tahun lalu, pemerintah hanya mengizinkan impor 50 ribu ekor sapi atau setara dengan 9.000 ton daging, padahal kebutuhan impor rata-rata per triwulan sekitar 250 ribu ekor. Akibatnya, harga melonjak sampai di atas Rp 120 ribu.

Menyadari harga melonjak, pemerintah kelabakan. Semangat membatasi impor untuk melindungi peternak lokal tak lagi bisa dipertahankan. Nyatanya, pasokan daging sapi produksi dalam negeri tak bisa memenuhi permintaan. Keran impor lalu dibuka lebih lebar.

Tersebutlah PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI), badan usaha milik negara, yang ditunjuk menjadi importir. Mengantongi izin mendatangkan 29.500 daging sapi, penunjukan ini mengundang tanda tanya: PPI sebelumnya dilarang Kementerian Pertanian mendatangkan daging karena tak memiliki nomor kontrol veteriner. Selain PPI, pengimpor dadakan adalah PT Berdikari, yang juga badan usaha milik negara.

Terbiasa mengimpor gula dan bahan kimia, PT PPI sejatinya tak berpengalaman mendatangkan daging sapi. Jikapun ada, mereka hanya pernah memasok sedikit daging untuk kebutuhan restoran dan industri-bukan untuk konsumsi masyarakat luas. Penunjukan PPI mudah mendatangkan wasangka: perusahaan itu hanya kendaraan untuk memberikan konsesi kepada para penggede.

Kecurigaan itu bukan tanpa alasan. Penelusuran majalah ini menemukan pengimpor sebenarnya adalah Indra Hasan, pemain daging kawakan yang dikenal dekat dengan Tommy Soeharto. Penunjukan ini melibatkan juga Badan Intelijen Negara. Di luar PPI, ada pula importir yang memiliki kaitan dengan nama-nama besar: pengusaha Tomy Winata, Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Oesman Sapta Odang, dan sebuah perusahaan yang dekat dengan politikus Partai Hanura. Ini memang bisnis menggiurkan. Dengan harga jual daging Rp 70-85 ribu per kilogram, impor daging sapi 60 ribu ton bernilai Rp 4,2-5,1 triliun. Lebih mengherankan lagi, bagi-bagi kuota ini diterbitkan tanpa melalui rekomendasi Kementerian Pertanian.

Lebih dari sekadar bersiasat menurunkan harga, pemerintah selayaknya menjelaskan perihal permainan kuota ini. Melibatkan importir yang tak punya rekam jejak dalam bisnis pengadaan daging membawa risiko yang tak kecil. Salah-salah, daging malah tak datang dan harga urung turun. Praktek bagi-bagi kuota-apalagi dengan mengabaikan aturan-sangat dekat dengan korupsi. Belum hilang dari ingatan, petinggi Partai Keadilan Sejahtera pernah dihukum penjara karena menerima suap dari importir daging.

Di luar itu, pemerintah mesti memikirkan kebijakan jangka panjang agar persoalan harga daging tidak terus berulang. Ini bisa dimulai dengan menghitung kembali pasokan dan kebutuhan daging sapi setiap tahunnya. Data sapi ini sangat penting karena data Badan Pusat Statistik tak selalu bisa diandalkan.

Jumlah sapi di Indonesia, misalnya, cukup besar, yakni sekitar 15,5 juta atau setara dengan 2,7 juta ton daging-cukup untuk empat tahun kebutuhan daging nasional. Dibaca sekilas, pasokan ini lebih dari cukup. Kenyataannya, 98 persen sapi dimiliki peternak kecil yang hanya punya 2-4 ekor. Sapi milik mereka tak bisa dipotong setiap saat, berbeda dengan sapi perusahaan peternakan yang siap tetak. Akibatnya, stok peternak gurem tak bisa dihitung sebagai pemasok kebutuhan nasional.

Untuk mencapai swasembada, pemerintah harus membuat enclave peternakan sapi di berbagai daerah. Wilayah penghasil sapi potong yang besar adalah Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Nusa Tenggara Timur. Namun daerah yang benar-benar bisa diandalkan hanya Nusa Tenggara Timur. Dengan terkonsentrasi di beberapa wilayah, ongkos transportasi jadi mahal.

Pemerintah harus membuat peta jalan pengembangan peternakan sapi skala besar. Sejumlah insentif harus diberikan agar program itu bisa berjalan, satu di antaranya pengadaan lahan. Tanpa kerja yang komprehensif, swasembada daging sulit terwujud.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus