Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Angka inflasi belakangan ini menunjukkan tren penurunan.
Batas bawah target inflasi 2 persen bisa dicapai pada akhir tahun.
Namun penurunan inflasi mengindikasikan tingginya potensi pelemahan ekonomi.
Haryo Kuncoro
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Angka inflasi belakangan ini telah menunjukkan tren penurunan. Inflasi pada Juni 2023, misalnya, mencapai 3,52 persen secara tahunan. Angka itu lebih rendah daripada bulan sebelumnya yang bertengger persis di level 4 persen. Inflasi tampaknya lebih cepat masuk ke dalam rentang target daripada perkiraan sebelumnya. Pemerintah menetapkan target inflasi pada 2023 sebesar 3 persen plus-minus 1 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Konsistensi penurunan inflasi ini terasa saat memasuki awal 2023, setelah angkanya sempat meninggi pada tiga bulan terakhir 2022. Hal ini turut dipengaruhi perang Rusia-Ukraina, yang telah menyumbang pada peningkatan harga energi dan beberapa komoditas pangan di pasar global.
Paparan imbas kenaikan harga kedua komoditas strategis itu juga sampai ke Tanah Air. Kenaikan harga pangan bergejolak tak terhindarkan, meskipun harganya diatur pemerintah. "Puncak" inflasi, sebesar 5,95 persen, terjadi pada September 2022 saat pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.
Walhasil, disinflasi atau penurunan laju inflasi tengah berlangsung. Proses disinflasi bukan lantaran deflasi (inflasi yang minus). Besaran inflasi toh masih tetap positif, tapi selisih dari satu periode ke periode berikutnya terus mengecil. Jika tren disinflasi berlanjut, batas bawah target inflasi 2 persen bisa dicapai sampai akhir tahun.
Kalaupun inflasi sudah mencapai rentang target dan era inflasi rendah seperti sebelum masa pandemi kembali terwujud, bukan berarti persoalannya selesai. Di satu sisi, disinflasi menunjukkan keberhasilan sinergi lintas otoritas ekonomi makro dalam menjaga stabilitas harga. Koordinasi yang kokoh antara Bank Indonesia (BI), pemerintah pusat, dan pemerintah daerah dalam wadah Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) dan Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP) patut diapresiasi.
Di sisi lain, fenomena penurunan inflasi yang tajam mengindikasikan tingginya potensi pelemahan ekonomi. Penyebabnya, pertama, suku bunga domestik yang tinggi. Suku bunga acuan terkerek secara akumulatif sebanyak 225 basis point selama masa pandemi hingga di posisi sekarang sebesar 5,75 persen.
Kedua, normalisasi harga komoditas di pasar global sedang bergulir. Efek dari geopolitik invasi Rusia ke Ukraina tadi tampaknya telah memudar. Dampak melemahnya harga komoditas global tecermin dari melambatnya inflasi penjualan grosir di sektor pertambangan yang menjadi tumpuan penerimaan negara.
Ketiga, pertumbuhan ekonomi Cina, sebagai mitra dagang utama Indonesia, tidak sekuat proyeksi. Permintaan ekspor dari Negeri Panda belum bisa diharapkan. Sementara itu, kelebihan pasokan barang impor dari Cina justru ditengarai sebagai salah satu penyebab munculnya disinflasi.
Dengan demikian, disinflasi tidak selalu dapat dimaknai sebagai prestasi sejauh tidak diikuti oleh akselerasi kegiatan ekonomi. Disinflasi memang tidak terlalu membahayakan perekonomian, dan itu adalah fenomena lumrah dalam sebuah siklus ekonomi.
Dalam kondisi yang lumrah, disinflasi diperlukan untuk memastikan pesawat ekonomi mendarat dengan mulus. Dalam bahasa yang lebih jelas, disinflasi dirancang untuk mencegah "pemanasan suhu" ekonomi.
Strategi disinflasi yang lazim ditempuh adalah mengurangi jumlah uang beredar. Opsi yang tersedia bisa melalui penaikan porsi dana cadangan wajib perbankan, penjualan surat berharga, dan pengerekan suku bunga.
Pengerekan suku bunga dan penaikan cadangan wajib perbankan memang sudah ditempuh BI. Namun, alih-alih menjual, BI membeli surat berharga, bahkan di pasar perdana, di bawah payung burden sharing. Resultante dari ketiganya adalah jumlah uang beredar tetap meningkat. Artinya, disinflasi bukan "setting"-an.
Pada titik ini, disinflasi bisa bermakna sebaliknya. Ia bisa menjadi sinyal awal terjadinya resesi ekonomi, sebagaimana kekhawatiran di awal tahun. Jika dulu bayangan resesi ekonomi nasional diklaim dipicu oleh faktor eksternal, belakangan ini muncul potensi resesi dari ranah internal.
Sinyal awal resesi dari dalam negeri ditandai oleh tekanan ke bawah terhadap tingkat harga umum. Putaran berikutnya mengarah pada perlambatan tingkat inflasi. Efek rambatan yang paling berat adalah kontraksi ekonomi. Skenario disinflasi yang disebut terakhir ini patut diantisipasi.
Fenomena disinflasi membuka peluang bagi BI untuk memotong suku bunga acuannya. Bagaimanapun, pergerakan inflasi ke depan sudah terjangkar. Inflasi inti pun sudah dapat jinak.
Di masa pandemi, BI adalah bank sentral terakhir yang menaikkan suku bunga di antara negara sepantaran. Memasuki era endemi, BI juga ditantang untuk menjadi pelopor pemangkasan suku bunga guna "mematikan sinyal" resesi.
Pada akhirnya, terbitnya disinflasi setelah masa pandemi hanyalah temporer. Kebangkitan ekonomi di masa endemi menuju Indonesia Baru akan "sah" jika suku bunga acuan sudah diturunkan.
PENGUMUMAN
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak, foto profil, dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo