Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Cari Angin

Pesawat Kepresidenan

Pesawat kepresidenan berganti cat. Hebohnya ke mana-mana. Soal warna, kenapa dari biru berubah jadi merah. Soal biaya, kenapa tidak ditunda agar dananya bisa dialihkan untuk penanganan Covid-19. Ada yang lebih asyik, dibawa-bawa ke soal politik.

8 Agustus 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Putu Setia

Pesawat kepresidenan berganti cat. Hebohnya ke mana-mana. Soal warna, kenapa dari biru berubah jadi merah. Soal biaya, kenapa tidak ditunda agar dananya bisa dialihkan untuk penanganan Covid-19. Ada yang lebih asyik, dibawa-bawa ke soal politik.

 

Pesawat itu dibeli saat pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang didukung Partai Demokrat, partai dengan warna khas biru. Kini berwarna merah, warnanya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, partai pendukung Presiden Joko Widodo.

 

Dikaitkannya dengan warna partai semakin nyata karena yang bermula protes adalah kader Partai Demokrat. Padahal, urusan warna, ada penjelasan dari pakar penerbangan, mantan KSAU Chappy Hakim. Cat biru adalah kesesuaian dengan langit dan umumnya pesawat militer bercat biru untuk penyamaran. Sekarang, dengan teknologi persenjataan yang modern, pesawat dengan cat warna apa pun mudah dikenali tanpa melihat fisiknya. Apalagi pesawat kepresidenan bukan pesawat militer. Mau dicat warna apa pun, tidak ada masalah. Warna merah dan putih tentulah simbol dari bendera kebangsaan.

 

Soal anggaran Rp 2 miliar? Itu bukan semata-mata untuk mengecat pesawat, tapi juga buat perawatan rutin. Sudah dianggarkan pada 2019 untuk pekerjaan tahun 2020. Bahwa baru sekarang dilakukan pengecatannya, itu karena ulah Covid-19. Jika Piala Eropa dan Olimpiade Tokyo baru bisa digelar pada 2021 dengan tetap menggunakan nama 2020, mengecat pesawat yang tertunda bukanlah kesalahan. Uang Rp 2 miliar nilainya juga lebih kecil daripada hadiah peraih medali perak untuk atlet Olimpiade. Tak akan membuat pemerintah kekurangan dana untuk membeli vaksin.

 

Kenapa itu yang dihebohkan? Kalaupun mau diheboh-hebohkan—mungkin kita perlu heboh agar lupa sejenak akan kegagalan penanganan pandemi—bawa ke masalah pokoknya, yakni apa perlu negara ini punya pesawat kepresidenan? Berapa kali dipakai setahun? Apa sebanding dengan biaya perawatannya? Perlukah memamerkan gengsi di dalam negeri kepada masyarakat yang semakin terpuruk? Apalagi jika presidennya pekerja keras semacam Jokowi. Apa artinya pesawat super-mewah itu jika yang turun di tangga pesawat adalah "presiden yang sederhana" dengan kemeja putih yang lengannya digulung? Kata orang-orang zaman dulu, tak sebanding antara penumpang dan kendaraannya. Ibarat kereta kencana yang dinaiki raja yang tak bermahkota.

 

Atau untuk gengsi di dunia internasional? Coba kita periksa, berapa kali dalam setahun Presiden melawat ke luar negeri? Tidak sering amat. Ibarat punya mobil tapi jarang ke luar rumah. Mobil perlu dipanasi setiap hari, ganti oli, dan servis berjadwal meski jarang berjalan. Bukankah lebih murah jika ke luar rumah yang sesekali itu cukup dengan menyewa taksi?

 

Coba lihat catatan ini. Februari tahun lalu, ada rencana KTT ASEAN di Amerika Serikat. Presiden Jokowi mau hadir. Jika mengenakan pesawat kepresidenan, harus transit beberapa kali dan perjalanan perlu dua hari. Boros uang dan waktu. Maka, pemerintah memutuskan memakai pesawat milik Garuda Indonesia tipe Boeing 777-300 ER yang hanya perlu sekali transit. Sayangnya, KTT dibatalkan gara-gara Covid-19.

 

Presiden sebelum SBY mungkin tak punya niat membeli pesawat kepresidenan. Cukup terbang dengan Garuda Indonesia, maskapai kebanggaan bangsa. Pesawat kepresidenan yang sekarang justru dibeli menjelang SBY lengser. Pesawat tiba pada 10 April 2014 dan terbang perdana pada 5 Mei 2014 membawa Presiden SBY ke Bali untuk menghadiri konferensi regional Open Government Partnership (OGP) Asia-Pasifik.

 

Selebihnya, Presiden Jokowi yang memakai pesawat berwarna biru itu, yang kini berubah jadi merah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus