Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEPUTUSAN pemerintah memilih Rosneft, perusahaan minyak raksasa dari Rusia, untuk menggarap Kilang Tuban, Jawa Timur, harus dilihat dari dua perkara. Pertama, lama tak membangun kilang baru, mendirikan kilang merupakan keputusan yang tepat. Kedua, betapapun urgennya, penunjukan Rosneft harus dilakukan dengan transparan. Kilang minyak adalah proyek raksasa bernilai ratusan triliun rupiah. Potensi korupsi sangat besar. Dengan transparansi, pemerintah bisa mencegah permainan mafia minyak dan para pemburu rente.
Nota kesepahaman antara Pertamina dan Rosneft diteken di Jakarta pada Kamis dua pekan lalu. Inilah "oleh-oleh" kunjungan Presiden Joko Widodo ke Rusia sepekan sebelumnya. Ketika berada di Sochi, kota di Rusia tempat berlangsungnya Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN-Rusia, Jokowi bertemu dengan Igor Sechin, Chief Executive Officer Rosneft. Dari sini lahir kesepakatan: Rosneft dan PT Pertamina akan bekerja sama dalam pembangunan kilang di Tuban. Total investasinya mencapai US$ 14 miliar atau sekitar Rp 190 triliun. Kilang yang ditargetkan rampung pada 2021 ini berkapasitas 300 ribu barel per hari.
Keputusan itu mengejutkan karena sebelumnya pemerintah mengisyaratkan menunjuk Saudi Aramco, perusahaan minyak asal Arab Saudi. Aramco dan Rosneft merupakan dua dari enam perusahaan minyak dunia yang berminat menggarap Kilang Tuban.
Rosneft memang tak hanya membangun kilang, tapi juga bersedia bekerja sama dengan Pertamina mengeksplorasi ladang minyak di Rusia. Dari ladang dengan cadangan minyak 200 juta barel ini, Pertamina diharapkan bisa memompa tambahan produksi 30 ribu barel per hari.
Igor Sechin juga sepakat memenuhi permintaan Presiden Jokowi agar proyek kilang itu selesai lebih cepat dari jadwal. Kesepakatan lain, Rosneft membangun storage atau tempat penyimpanan cadangan minyak. Mereka juga berjanji menyiapkan infrastruktur untuk menyulap Kota Tuban menjadi penghubung (hub) perdagangan minyak dunia.
Kebutuhan Indonesia untuk memiliki kilang baru memang sangat mendesak. Saat ini, Pertamina hanya memiliki sebelas kilang, yang tersebar dari Riau hingga Papua. Umumnya sudah uzur karena dibangun di masa kolonial. Kilang yang tergolong baru adalah Balongan di Indramayu, Jawa Barat, yang mulai beroperasi pada 1994, dan Kilang Kasim di Sorong, Papua, yang selesai dibangun pada 1997.
Minimnya kilang menyebabkan kapasitas produksi bahan bakar minyak sangat terbatas. Dari kebutuhan sebesar 1,6 juta barel BBM per hari, kilang yang ada hanya mampu memproduksi separuhnya. Akibatnya, tak ada ruang untuk mengolah minyak mentah menjadi BBM, apalagi menyimpannya sebagai cadangan.
Melalui kekuatan lobi yang luar biasa hingga ke pusat kekuasaan, mafia minyak membuat pemerintah selama puluhan tahun ogah-ogahan membuat kilang. Padahal keberadaan kilang membuat pemerintah dapat memproduksi sendiri pelbagai varian BBM-sesuatu yang dapat mengurangi impor bahan bakar dan meminimalkan keuntungan mafia.
Sudah selayaknya Jokowi menempatkan pembangunan kilang sebagai prioritas. Untuk itu, ia perlu memikirkan upaya memberi insentif khusus, misalnya tax holiday, agar investor di bidang ini lebih banyak masuk. Pemerintah sebaiknya juga memberi kelonggaran penyewaan lahan dengan tarif seminimal mungkin untuk jangka panjang.
Yang perlu digarisbawahi, kelonggaran bagi investor tidaklah berarti pelonggaran pengawasan. Agar tidak menimbulkan syak wasangka, pemerintah semestinya memberi penjelasan alasan penunjukan Rosneft. Khalayak perlu tahu bagaimana keputusan tiba-tiba itu dibuat.
Insiden "kawin siri" Rosneft-Pertamina di Sochi sebaiknya tidak terulang. Ketika itu, di tengah-tengah KTT ASEAN-Rusia, Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno menyebutkan penandatanganan kerja sama Kilang Tuban baru akan dilakukan pekan berikutnya. Hanya beberapa jam setelahnya, di kalangan wartawan beredar foto yang menunjukkan penandatanganan itu sudah terjadi. Main petak umpet seperti ini sungguh konyol dan menerbitkan curiga. Pemerintah sebaiknya juga menjelaskan munculnya sejumlah nama yang disebut-sebut berperan dalam lobi Rosneft.
Pemerintah dan PT Pertamina selayaknya berkaca pada skandal korupsi pembangunan Kilang Balongan. Penggelembungan nilai proyek yang diduga merugikan negara sebesar Rp 2,7 triliun ini tak pernah tuntas terusut. Nama seperti Ginandjar Kartasasmita-Menteri Pertambangan dan Energi saat kasus itu terjadi-dan Sigit Soeharto hilang tak tersentuh. Proyek-proyek kilang baru nanti harus dipastikan tak akan mengulang skandal Balongan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo