Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Akomodasi Legislasi dan Asta Cita Prabowo

Prabowo diperkirakan meniru cara Jokowi dalam proses legislasi demi melancarkan program prioritas. Apa bahayanya?

19 September 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/J. Prasongko

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Ada upaya akomodasi politik legislasi dalam suksesi Asta Cita dengan menyelundupkan rencana legislasi.

  • Presiden mengeluarkan peraturan eksekutif yang tidak memerlukan persetujuan legislatif sehingga lebih cepat diimplementasikan tanpa hambatan.

  • Performa legislasi Indonesia akan terus merosot hingga di bawah ambang batas.

PRESIDEN Joko Widodo akan menyelesaikan periode kedua masa kepemimpinannya pada 20 Oktober 2024. Meskipun masa jabatannya akan segera berakhir, perhatiannya terhadap berbagai program ambisius tidak menunjukkan tanda-tanda surut. Sebut saja Ibu Kota Negara (IKN) dan rencana kereta cepat Jakarta-Surabaya yang berpeluang berlanjut.

Jokowi bahkan mengambil langkah “terselubung” untuk mempersiapkan kelahiran visi Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka yang disebut Asta Cita. Jokowi juga ditengarai mengatur distribusi jabatan untuk tim sukses dan relawan di badan usaha milik negara, melakukan reshuffle kabinet (wakil menteri), mendorong eksposur internasional untuk Prabowo, serta memberi instruksi agar semua program Prabowo diintegrasikan ke rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2025. Hal ini merupakan strategi yang diharapkan bakal melanjutkan Nawacita—sembilan prioritas pembangunan Jokowi. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Asta Cita merupakan delapan misi Prabowo-Gibran. Misi ini terdiri atas 17 program prioritas dan delapan program yang hasilnya bisa terlihat secara cepat. Untuk itu, ada upaya akomodasi politik legislasi dalam suksesi Asta Cita dengan menyelundupkan rencana legislasi. Praktik ini dikenal dengan istilah midnight regulations atau midnight rulemaking.

Fenomena ini terjadi ketika presiden yang sedang menjabat mengeluarkan peraturan atau kebijakan baru pada periode transisi sebelum presiden baru dilantik. Tujuannya adalah menyokong kebutuhan legislasi lebih awal serta memastikan kebijakan tetap berlaku meskipun terjadi pergantian pemerintahan (Jerry Ellig, 2016). 

Modus yang sering digunakan, antara lain, revisi sejumlah peraturan yang sudah ada untuk memastikan kebijakan tersebut sesuai dengan kebutuhan dan agenda presiden yang akan datang. Contohnya revisi Undang-Undang Kementerian Negara untuk menyesuaikan struktur dan penambahan kementerian. Ada pula revisi UU Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) menjadi Dewan Pertimbangan Agung untuk menyiapkan pembentukan presidential club. Kemudian revisi UU TNI-Polri yang mendorong pengarusutamaan fungsi TNI-Polri di berbagai jabatan sipil.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam situasi ini, terjadi penguatan instrumen peraturan eksekutif. Presiden mengeluarkan peraturan eksekutif yang tidak memerlukan persetujuan legislatif sehingga lebih cepat diimplementasikan tanpa hambatan.

Beberapa peraturan presiden kontroversial yang semestinya menjadi konten dalam undang-undang adalah Perpres Nomor 75 Tahun 2024 tentang Percepatan Pembangunan IKN yang mengatur hak guna usaha dengan jangka waktu 190 tahun serta Perpres Nomor 76 Tahun 2024 tentang Pengalokasian Lahan bagi Penataan Investasi, yang memberikan izin kepada ormas keagamaan untuk mengelola tambang. 

Praktik pembentukan peraturan tanpa proses peninjauan mendalam juga terjadi. Regulasi diterbitkan dengan cepat tanpa melalui proses analisis. Hal ini terjadi pada revisi UU Pemilihan Kepala Daerah yang pembahasannya hanya memakan waktu tujuh jam. Sejumlah undang-undang lain juga dibahas secara kilat: UU IKN, UU Daerah Khusus Jakarta, UU Cipta Kerja, UU KPK, serta UU MK. Percepatan ini menimbulkan kekhawatiran ihwal kualitas legislasi dan partisipasi publik. 

Legislasi Asta Cita

Daftar kebutuhan legislasi Asta Cita tidak berhenti di situ. Untuk merealisasi program cepat Prabowo-Gibran, pemerintah berikutnya diprediksi menyiapkan beberapa aturan yang perlu menjadi perhatian masyarakat sipil. 

Aturan-aturan itu menyangkut program makan bergizi gratis yang memerlukan peraturan presiden tentang pelembagaan dan pelaksana program. Program penghiliran mineral juga berpotensi mengubah berbagai peraturan sektoral kementerian melalui pembentukan peraturan presiden tentang tata kelola mineral kritis dan mineral strategis. 

Berikutnya proyek lumbung pangan diprediksi mengubah materi UU Pertanian, harmonisasi regulasi proyek strategis nasional (PSN), dan pembentukan peraturan presiden tentang lumbung pangan nasional. Dalam hal infrastruktur, aturan mengenai PSN juga akan makin dioptimalkan dan akan ada peluang perubahan. 

Untuk program bantuan sosial, akan ada kebijakan integrasi program kesejahteraan sosial yang saat ini terpisah di kementerian menjadi terpadu. Dalam konteks ini, masyarakat sipil harus mengawasi dengan ketat karena program bansos berisiko makin dikontrol untuk dijadikan komoditas politik. 

Pembentukan Badan Penerimaan Negara juga memerlukan aturan baru, yang diikuti perubahan aturan tentang reformasi subsidi dan perpajakan. Lalu program dana kelurahan akan mengubah Undang-Undang tentang Pemerintah Daerah dan menambah aturan tentang dana kelurahan. Terakhir, program perumahan akan banyak mengubah peraturan pemerintah tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman, serta aturan mengenai program Tabungan Perumahan Rakyat.

Kinerja legislasi di era Jokowi yang mempraktikkan pembentukan peraturan dengan cepat, tanpa partisipasi, dan tidak akuntabel merupakan indikasi lemahnya proses demokratisasi regulasi. Itulah mengapa Indeks Negara Hukum Indonesia yang mengukur tingkat keterbukaan pemerintah versi World Justice Project memiliki skor di bawah 0,58. Semua indikator pun menunjukkan stagnasi pada 2015-2023 di kisaran 0,52-0,53. 

Pemerintahan Prabowo dikhawatirkan akan meniru pendekatan yang sama dalam proses legislasi, terutama untuk merealisasi program-program Asta Cita. Akibatnya, performa legislasi Indonesia akan terus merosot hingga di bawah ambang batas. Cara ini juga bakal mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi dan tata kelola yang baik serta akan menghambat pembangunan dalam program legislasi nasional.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.

Muhamad Saleh

Muhamad Saleh

Peneliti  Hukum dan Kenegaraan Center of Econimic and Law Studies (CELIOS)

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus