Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Politik Kiri Malaysia

Kemenangan Anwar Ibrahim dalam pemilihan sela di Port Dickson sudah diramalkan sebelumnya. Banyak media massa Tanah Air memberitakan kejayaan ikon reformasi tersebut.

1 November 2018 | 07.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ahmad Sahidah
Dosen Senior Filsafat dan Etika Universitas Utara Malaysia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kemenangan Anwar Ibrahim dalam pemilihan sela di Port Dickson sudah diramalkan sebelumnya. Banyak media massa Tanah Air memberitakan kejayaan ikon reformasi tersebut. Selangkah lagi, bekas wakil perdana menteri itu akan menggantikan kedudukan Mahathir Mohamad sebagai orang nomor satu di Malaysia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namun ada isu lain yang luput dari perhatian media dan sebagian besar warga Malaysia, yakni kehadiran partai kiri dalam pertarungan politik negeri jiran. Partai Sosialis Malaysia (PSM) sebenarnya turut meramaikan pesta demokrasi dengan turun ke jalan sambil membawa spanduk penolakan kenaikan upah minimum sebesar 50 ringgit (sekitar Rp 150 ribu). Pada hari nominasi calon, partai berlambang genggaman tangan ini hadir seraya mengedarkan selebaran untuk menuntut kenaikan gaji buruh.

Sebagai partai berhaluan kiri, PSM mengambil posisi sebagai kelompok yang menentang kapitalisme, yang dianggap sebagai hantu yang menyengsarakan kaum pekerja. Tak pelak, ia selalu menyuarakan gurita neoliberalisme yang dikomando oleh institusi seperti Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia dengan lantang. Meski tak mendapat sokongan luas, partai ini tak kenal lelah untuk membela kepentingan kaum pekerja dan masyarakat tertindas.

PSM juga giat melakukan kaderisasi. Bawani, mahasiswa saya di Universitas Utara Malaysia, misalnya, adalah pegiat sosialis. Perempuan ini sangat kritis. Ketika isu Trans-Pacific Partnership Agreement (TPPA) memantik kontroversi, aktivis berdarah India ini mengungkap isu kontroversi tersebut di kelas. Sekali waktu, perempuan yang kini menjadi pengacara itu memobilisasi mahasiswa untuk berdemonstrasi di depan rektorat. Pilihan ini sangat berisiko di tengah cengkeraman rezim yang kuat terhadap perguruan tinggi pada masa itu.

Geliat politik kiri sejatinya lahir sejak awal perjuangan kemerdekaan. Dalam Social Roots of the Malay Left, Rustam A. Sani mengurai asal-usul gerakan berhaluan kiri di Semenanjung. Sejak awal 1930-an, pergolakan sosial dan ekonomi yang dipicu oleh depresi dan tantangan dari kaum imigran mendorong orang-orang Melayu mendirikan organisasi politik untuk mempertahankan kepentingan mereka. Kehendak ini bukan sekadar pendirian badan amal. Hasrat tersebut terwujud dalam Kesatuan Melayu Muda (1938), Partai Kebangsaan Melayu Malaya (1945), Partai Rakyat Malaya (1955), dan Partai Sosialis Rakyat Malaysia (1968).

Buku Memoir Perjuangan Politik Syed Husin Ali menyebutkan bahwa faktor yang mendorong gerakan kiri ini adalah pengaruh majalah politik dan buku dari Indonesia di kalangan pelajar Sultan Idris Training College, sekolah diploma keguruan. Selain itu, pejuang kemerdekaan Indonesia yang lari ke Malaya turut mewarnai pandangan politik masyarakat, seperti Sutan Haji Naim. Ahmad Boestamam, dalam memoarnya, juga menyebut peran Tan Malaka dalam menggerakkan ide-ide kiri kepada orang Melayu.

Tentu, sosok yang tak bisa dilupakan adalah Sukarno. Tokoh kemerdekaan Indonesia ini telah menyuntikkan semangat kepada banyak pegiat kemerdekaan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Di antara pejuang yang mendapatkan spirit untuk membebaskan Malaysia dari penjajahan Inggris adalah Burhanuddin, Ishak, dan Boestamam. Pada gilirannya, kesatuan kiri tidak hanya didukung oleh orang Melayu, tapi juga Tionghoa, seperti Tan Cheng Lock dengan penggabungan Putera (Pusat Tenaga Rakyat) dan AMCJA (All-Malaya Council of Joint Action).

Kini, Partai Rakyat Malaysia melebur dengan Partai Keadilan yang diterajui oleh Anwar Ibrahim. Peristiwa bersejarah ini tidak bisa dilepaskan dari peran orang penting Partai Rakyat Malaysia, Syed Hussin Ali, yang merintis penggabungannya bersama Anwar, yang pada masa itu meringkuk di penjara. Tentu ikhtiar ini mungkin diwujudkan karena asas perjuangan yang sama, yaitu menghentikan tradisi pembentukan partai yang didasarkan pada kesamaan kelompok etnis. Akhirnya, Partai Keadilan Rakyat (PKR) betul-betul menjadi wadah perjuangan politik lintas suku. Warna merah pada bendera PKR adalah simbol PRM. Adakah gagasan kiri masih subur dalam partai besutan Anwar? Sekilas, justru PSM sering menyuarakan ketidakadilan dan memilih turun ke jalan.

Ahmad Sahidah

Ahmad Sahidah

Dosen Program Pascasarjana Universitas Nurul Jadid, Probolinggo

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus