Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA puluh tahun pasca-reformasi, pengakuan dan pelindungan negara kepada kaum minoritas di Indonesia masih jauh panggang dari api. Sampai hari ini, pemeluk agama yang dinilai menyimpang seperti Ahmadiyah masih harus hidup dalam kecemasan. Sementara itu, penganut aliran kepercayaan seperti Sumarah dan Sunda Wiwitan harus berpura-pura menjadi pemeluk agama yang diakui di Indonesia agar memperoleh kartu tanda penduduk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kegagalan negara melindungi kaum minoritas jelas melanggar cita-cita kemerdekaan dan Undang-Undang Dasar 1945. Pada bagian Pembukaan, konstitusi kita sudah menegaskan pentingnya "melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia" tanpa terkecuali. Pembedaan perlakuan kepada mereka yang kebetulan punya keyakinan yang tak sama dengan mayoritas warga lain seharusnya tidak punya tempat di negeri ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Catatan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia memberi gambaran yang lebih detail soal suramnya nasib kaum minoritas di republik ini. Tahun lalu, lembaga itu menemukan ada sedikitnya 50 kasus dugaan pelanggaran kebebasan beragama. Tahun ini, hingga semester pertama, sudah ada delapan kasus serupa. Adapun Wahid Foundation, lembaga advokasi hak asasi manusia, menemukan bahwa sebagian besar pelanggaran dilakukan oleh aktor "negara". Dengan kata lain, aparat penegak hukum yang seharusnya melindungi hak warga beragama justru aktif melanggar prinsip kebebasan.
Temuan itu sebenarnya tak mengherankan. Peraturan perundang-undangan di Indonesia belum konsisten menerjemahkan prinsip pelindungan kebebasan beragama sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi. Kesalahkaprahan ini sudah terjadi sejak 27 Januari 1965, ketika diterbitkan Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Aturan itulah yang kini menjadi dasar Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri mengenai pelarangan penyebaran dan kegiatan keagamaan jemaah Ahmadiyah di Indonesia yang diteken pada 2008.
Bersenjatakan surat keputusan bersama itu, aparat negara kerap melarang kaum Ahmadiyah beribadah di masjidnya sendiri. Mereka juga menutup mata ketika kelompok warga lain menyerang dan mengusir kaum ahmadi. Upaya untuk menggugat peraturan itu sudah dilakukan di Mahkamah Konstitusi lima tahun lalu, tapi kandas. Dibutuhkan komitmen politik yang tegas dari Presiden Joko Widodo dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk membalikkan keadaan. Pemerintah bersama DPR harus mencabut semua peraturan perundang-undangan yang bertabrakan dengan Pancasila dan konstitusi.
Menggandeng tokoh-tokoh bangsa untuk melahirkan komitmen semacam itu memang tak mudah, tapi bukan tidak mungkin. Kunci persoalannya memang ada pada elite politik kita. Selama ini ada indikasi kuat persekusi atas kaum minoritas menjadi komoditas politik menjelang pemilihan umum. Setiap kali masa kampanye, para politikus akan menggoreng isu ini untuk menarik simpati pemilih mayoritas.
Harga yang harus dibayar untuk permainan politik semacam itu teramat mahal. Harmoni yang dibangun dengan meminggirkan minoritas juga tak akan langgeng. Kita belajar dari era Orde Baru bagaimana konflik antaragama yang dibungkam oleh negara tetap meletup suatu saat. Kini waktunya kembali pada moto Bhinneka Tunggal Ika, dengan memastikan tak ada kelompok agama yang disingkirkan dan semua aliran keyakinan diberi ruang yang adil di negeri ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo