Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Tak ada jaminan pilkada lewat DPRD akan menghasilkan pemimpin yang lebih baik ketimbang pemilihan langsung
Pemilihan oleh DPRD tak akan melenyapkan politik uang dan jual-beli suara.
Yang membuat pilkada langsung mahal adalah perilaku partai dan para politikus sendiri.
USULAN Presiden Prabowo Subianto agar kepala daerah kembali dipilih oleh dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) adalah gagasan berbahaya. Ide itu akan membawa demokrasi Indonesia yang sudah mengalami kemunduran makin terpuruk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Prabowo menilai pemilihan kepala daerah secara langsung terlalu mahal dan menganggap bahwa pemilihan oleh DPRD akan menghemat anggaran. Dia melihat pilkada di Malaysia, Singapura, dan India lebih efisien karena hanya mencoblos anggota parlemen yang kemudian akan memilih gubernur dan bupati. Prabowo keliru membandingkan sistem politik Indonesia dengan sistem parlementer di tiga negara itu. Dalam sistem parlementer, rakyat memang memilih anggota parlemen dan parlemenlah yang kemudian membentuk pemerintahan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Indonesia, Undang-Undang Dasar tidak membedakan antara prinsip pemilu dan pilkada. Dalam konstitusi disebutkan, pemilihan dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, dan rahasia. Karena itu, pemilihan kepala daerah oleh DPRD bertentangan dengan konstitusi.
Riset Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia menunjukkan usulan menghapus pilkada langsung sebenarnya tak berdasar. Misalnya, tak ada jaminan pilkada lewat DPRD akan menghasilkan pemimpin yang lebih baik ketimbang pemilihan langsung. Aspirasi rakyat tentang kepala daerah bisa berbeda dengan keinginan anggota DPRD. Lalu, jika pilkada kembali ke DPRD, akuntabilitas vertikal pemimpin kepada rakyat akan tergerus. Kepala daerah tak merasa harus mempertanggungjawabkan kebijakannya kepada masyarakat. Selain itu, pemilihan oleh DPRD tak akan melenyapkan politik uang dan jual-beli suara.
Salah satu pertimbangan DPR dan pemerintah mengubah sistem pemilihan kepala daerah oleh DPRD menjadi pilkada langsung pada 2004 adalah terjadinya jual-beli suara partai politik ataupun anggota DPRD pada saat pemilihan. Permainan uang yang gelap saat pemilihan tersebut tak bisa diawasi rakyat. Mengembalikan pilkada kepada anggota Dewan berarti memberikan jalan kepada mereka untuk bertransaksi lagi.
Lagi pula yang membuat pilkada langsung mahal adalah perilaku partai dan para politikus sendiri. Partai menerapkan mahar bagi calon kepala daerah yang memerlukan tiket untuk maju dalam pemilihan. Selain itu, praktik memborong “perahu” untuk membatasi kesempatan calon lain memerlukan kompensasi. Biaya pemilihan yang mahal juga disebabkan oleh maraknya politik uang. Para aktor politik menganggap pemberian uang kepada pemilih sebagai hal yang wajar.
Karena itu, dalih memperbaiki pilkada dengan mengembalikannya kepada DPRD merupakan gagasan yang menyesatkan. Semestinya para politikus mengevaluasi perilaku mereka sendiri yang telah merusak pilkada dan demokrasi. Prabowo dan mereka yang menyetujui gagasannya malah terkesan menyalahkan pemilih, seolah-olah rakyatlah yang menyebabkan pilkada menjadi mahal. Bukannya memperbaiki sistem pemilihan langsung menjadi lebih murah, Prabowo malah hendak merampas hak pilih rakyat.
Gagasan Prabowo adalah ide usang yang harus dilawan. Pada 2014, usulan tersebut pernah menjadi undang-undang sebelum dianulir oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono lewat peraturan pemerintah pengganti undang-undang setelah ditentang khalayak ramai. Menghidupkan kembali ide tersebut sama dengan membawa kita ke masa lampau. ●