Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Korupsi Menghambat Bisnis yang Bertanggung Jawab

Kasus pelanggaran hak asasi manusia di sektor bisnis biasanya bermula dari adanya korupsi yang melibatkan negara. 

18 Desember 2024 | 06.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/Kuswoyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Korupsi yang melibatkan pelaku bisnis dapat berdampak pada munculnya pelanggaran HAM yang merugikan publik.

  • Praktik korupsi dalam sektor bisnis jelas bertentangan dengan konsep perlindungan hak asasi manusia di Prinsip-Prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia.

  • Negara harus mendorong praktik bisnis yang menghormati HAM, sebagai dasar mewujudkan perilaku bisnis yang bertanggung jawab.

KASUS korupsi timah yang berkaitan dengan izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk periode 2015-2022 memasuki babak persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat. Kasus ini cukup menghebohkan karena diduga menimbulkan kerugian negara hingga Rp 271 triliun.

Jumlah kerugian tersebut dihitung berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup. Nilai itu merupakan akumulasi dari kerugian lingkungan (ekologis) senilai Rp 157 triliun, kerugian ekonomi lingkungan Rp 60 triliun, dan biaya pemulihan lingkungan Rp 5 triliun. Terdapat pula kerugian di luar kawasan hutan sebesar Rp 47 triliun. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berdasarkan studi Transparency International Indonesia, penerbitan wilayah IUP dan pemberian IUP merupakan salah satu lahan subur korupsi. Risiko korupsi dalam pemberian IUP ini biasanya meningkat ketika pemilihan kepala daerah berlangsung.

Hal tersebut membuat sektor ekonomi ekstraktif menjadi sorotan karena memiliki risiko korupsi yang signifikan. Korupsi di sektor ini sering kali berkaitan dengan upaya mendapatkan akses terhadap konsesi dari pemerintah. Catatan pemantauan korupsi oleh Indonesia Corruption Watch menyatakan, sepanjang 2023, terdapat 39 kasus korupsi di sektor ini dengan jumlah kerugian mencapai Rp 6,7 triliun, atau berada di posisi ketiga setelah korupsi di sektor telekomunikasi dan informasi serta korupsi di sektor perdagangan. 

Korupsi yang melibatkan pelaku bisnis dapat berdampak pada munculnya pelanggaran hak asasi manusia yang merugikan publik. Hasil riset International Corporate Accountability Roundtable dan Global Witness (2017)—yang berfokus pada transaksi lahan berskala besar, korupsi, dan dampaknya terhadap HAM di seluruh dunia—menunjukkan bahwa kasus pelanggaran HAM serius oleh sektor bisnis, seperti kerja paksa dan perdagangan manusia, kerap berhubungan dengan korupsi sebagai faktor yang mendasarinya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di masyarakat adat, misalnya, aktivitas penambangan yang ekstensif menimbulkan dampak buruk signifikan terhadap HAM, yang mempengaruhi hak atas kesehatan dan lingkungan yang memadai. Pemberian konsesi tanpa penilaian risiko lingkungan atau sosial yang tepat juga akan menyebabkan sejumlah pelanggaran HAM yang berdampak pada penduduk setempat.

Keluhan tersebut muncul karena perusahaan tak melakukan konsultasi yang bermakna dengan masyarakat setempat, khususnya masyarakat adat. Perusahaan juga kerap tak mematuhi persyaratan free, prior and informed consent (FPIC) dalam konteks kegiatan bisnis, sebagaimana ditetapkan dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Masyarakat Adat.  

Operasional bisnis juga dapat secara langsung ataupun tidak langsung memiliki dampak buruk pada HAM, yang lagi-lagi disebabkan oleh praktik korupsi. Akuisisi lahan untuk proyek bisnis, seperti agrobisnis, pertambangan, atau infrastruktur, dapat melibatkan korupsi yang menyebabkan perampasan tanah serta pemindahan paksa masyarakat yang kehilangan harta benda dan mata pencarian mereka.

Praktik korupsi dalam sektor bisnis jelas bertentangan dengan konsep perlindungan HAM dalam ketiga pilar Prinsip-Prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan HAM (United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights/UNGPs). Pada pilar pertama—pilar perlindungan, yaitu kewajiban pemerintah untuk melindungi HAM—korupsi memungkinkan hibah pengadaan publik dipengaruhi oleh jaringan hubungan informal antara pengusaha, politikus, dan aparatur negara.

Kemudian pada pilar kedua—pilar penghormatan, yaitu tanggung jawab perusahaan untuk menghormati HAM—sebagian besar korporasi, baik milik negara maupun swasta, belum menganut prinsip-prinsip paling dasar UNGPs dan terus melakukan praktik-praktik negatif. Hal ini berkontribusi pada menguatnya pengaruh entitas bisnis pada lembaga-lembaga negara otoritatif. Sebagian besar entitas bisnis ini masuk dalam jaringan oligarki bisnis dan taipan, yang mampu mendikte kebijakan serta regulasi di negara.

Korupsi juga berdampak pada fungsi pilar ketiga UNGPs—pilar pemulihan, yaitu memastikan korban mendapatkan pemulihan atau bantuan yang efektif dan mudah dijangkau. Mekanisme peradilan, kuasi-peradilan, dan non-peradilan kerap mengalami tantangan dalam memberikan akses yang efektif, adil, dan independen kepada pemegang hak ke peradilan.

Pentingnya pendekatan HAM untuk mengatasi korupsi juga merupakan elemen utama untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals/SDGs). Dalam target SDGs 16, secara khusus terdapat target penghapusan korupsi dan penyuapan dalam segala bentuknya; mengurangi aliran keuangan gelap; mempromosikan lembaga yang efektif, akuntabel, dan transparan; serta mempromosikan pengambilan keputusan yang inklusif, partisipatif, dan representatif.

Pada akhirnya, praktik korupsi tidak serta-merta dihitung berdasarkan kerugian materiil dan bisnis an sich yang diakibatkan. Lebih dari itu, negara harus mendorong praktik bisnis yang menghormati HAM sebagai dasar mewujudkan perilaku bisnis yang bertanggung jawab. Di sisi lain, negara tak boleh melupakan kewajibannya melindungi masyarakat dari praktik pelanggaran HAM oleh entintas bisnis.

Penulis adalah peneliti bisnis dan HAM Setara Institute


Redaksi menerima artikel opini dengan ketentuan panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus