Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERNYATAAN Kementerian Kesehatan tentang rencana pengawasan terhadap kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender untuk mencegah penyebaran virus cacar monyet bukan hanya blunder, tapi juga tindakan diskriminatif yang berbahaya bagi kelompok tersebut. Kendati akhirnya dibantah, pengumuman itu telanjur menimbulkan stigma terhadap komunitas LGBT di sejumlah daerah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pernyataan sesat logika tersebut dilontarkan Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Maxi Rein Rondonuwu pada Senin, 25 Juli lalu. Ia menyampaikan bahwa pemerintah akan bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat untuk melakukan surveilans atau pengawasan ketat terhadap kelompok LGBT. Ia beralasan kelompok gay menjadi titik konsentrasi penyebaran virus cacar monyet.
Pernyataan pejabat Kementerian Kesehatan itu sungguh tendensius dan tidak berdasarkan fakta ilmiah. Sikap Kementerian Kesehatan ini dilatarbelakangi fenomena penyakit cacar monyet yang banyak menginfeksi laki-laki dan sebagian besar merupakan kelompok gay. Menurut Kementerian Kesehatan pada 27 Juli 2022, kasus cacar monyet di dunia 99,5 persen menyerang laki-laki dengan usia rata-rata 37 tahun dan 60 persen di antaranya adalah kelompok gay. Per hari itu, WHO melansir ada sedikitnya 18 ribu kasus cacar monyet di 78 negara. Dengan data tersebut, lembaga ini menetapkan wabah cacar monyet sebagai darurat kesehatan global.
Kendati penyakit ini banyak menyerang kelompok gay, WHO memastikan cacar monyet bukan penyakit menular seksual. Penyakit ini bisa menyerang siapa saja yang berkontak erat dengan penderita, termasuk melalui hubungan seks. WHO melansir virus dari genus Orthopoxvirus ini juga menular lewat kontak kulit dan wajah, droplet pernapasan, hingga virus yang menempel di handuk atau seprai milik penderita. Sejumlah negara, seperti India dan Amerika Serikat, melaporkan penyakit ini juga menyerang perempuan, anak-anak, dan ibu hamil.
Karena itu, pernyataan Kementerian Kesehatan bahwa akan melakukan pengawasan ketat terhadap kelompok LGBT bisa memperburuk stigma terhadap kelompok ini di tengah masyarakat. Alih-alih mencegah penyebaran penyakit, cara penyampaian yang keliru seperti ini bisa membahayakan kelompok tertentu. Pemerintah mestinya belajar dari kasus penularan HIV/AIDS yang stigmanya melekat pada kelompok LGBT. Karena stigma ini, pemerintah malah kesulitan menanggulangi penyakit tersebut karena kelompok LGBT menutup diri terhadap layanan kesehatan. Ada yang kemudian berujung bunuh diri, ada pula yang dikriminalisasi. Kasus cacar monyet sampai pekan lalu memang belum ditemukan di Indonesia, tapi kelompok LGBT sudah resah.
Pemerintah sebaiknya berfokus mencegah penularan dengan mengawasi ketat orang-orang yang datang dari luar negeri, bukan kelompok tertentu saja. Jangan sampai kegagalan menangkal kasus Covid-19 terulang karena pemerintah tidak sigap mengantisipasi masuknya virus dari luar lantaran terlalu percaya diri penyakit ini tidak akan masuk ke Indonesia. Akibatnya, pengawasan pintu perbatasan menjadi longgar. Hanya dalam hitungan bulan, Covid-19 pun menular dengan cepat.
Upaya menangkal penyakit ini semestinya tetap bersandar pada argumentasi ilmiah. Surveilans terhadap seluruh kelompok masyarakat akan membuat deteksi cacar monyet menjadi lebih akurat serta meminimalkan stigma dan diskriminasi terhadap kelompok tertentu. Tidak kalah penting, pejabat publik, terutama di Kementerian Kesehatan, harus hati-hati mengkomunikasikan soal orientasi seksual yang dikaitkan dengan penyakit tertentu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo