Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Langkah polisi memanggil masyarakat yang akan berdemo saat KTT ASEAN merupakan tindakan intimidatif.
Pembangunan infrastruktur yang masif menimbulkan konflik dengan masyarakat dan masalah lingkungan.
Deforestasi dan kerusakan lingkungan tak pernah masuk dalam kalkulasi setiap pembangunan.
LANGKAH Kepolisian Resor Manggarai Barat memanggil kelompok masyarakat yang akan berunjuk rasa pada saat Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN ke-42 di Labuan Bajo merupakan tindakan intimidatif. Aparat keamanan tak pernah belajar dari cara negara maju mengelola hak masyarakat menyampaikan pendapat saat ada perhelatan internasional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dominikus Safio Bion dan Viktor Frumentius, warga Kampung Cumbi, dipanggil polisi pada 8 Mei 2023. Sedangkan Doni Parera dan Ladis Jeharun, dua aktivis yang membantu penduduk berdemo, diminta datang sehari kemudian. Dalam surat panggilan, polisi tengah menyelidiki dugaan tindak pidana penghasutan yang akan terjadi pada 9 Mei 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keempat orang itu, bersama sejumlah penduduk Desa Waroka, hendak menggelar unjuk rasa menuntut ganti rugi lahan kepada pemerintah. Tanah, kebun, rumah, dan sawah mereka kini berubah fungsi menjadi jalan penghubung Labuan Bajo-Golo Mori sepanjang 25 kilometer. Jalan itu diresmikan oleh Presiden Jokowi pada 14 Maret lalu. Golo Mori, desa di selatan Labuan Bajo, semula menjadi venue utama KTT ASEAN, meski kemudian batal.
Kendati tidak jadi dimanfaatkan, pembangunan di sana menimbulkan konflik agraria. Komisi Justice, Peace, and Integrity of Creation–Societas Verbi Divini (JPIC-SVD), lembaga advokasi Gereja Katolik yang turut membantu warga yang terkena dampak proyek jalan itu, mencatat 51 keluarga yang gigih menuntut ganti rugi.
Mayoritas mereka petani dan guru honorer dengan aset yang digusur berupa rumah permanen, 16 rumah semipermanen, pekarangan seluas 14.050 meter persegi, sawah 1.790 meter persegi, dan ladang 1.080 meter persegi. Unjuk rasa di tengah KTT ASEAN pada 9-11 Mei 2023 itu upaya warga Kampung Cubi menuntut haknya yang selama dua tahun tak kunjung dipenuhi pemerintah.
Sulit dimungkiri, konflik agraria semakin menjadi-jadi pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat 2.291 kasus konflik agraria selama periode 2015-2020. Jumlah konflik di era Jokowi itu, menurut KPA, melebih kasus di zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang sebanyak 1.770 perkara. Pembangunan infrastruktur proyek strategis nasional menjadi salah satu penyumbang konflik agraria.
Labuan Bajo adalah satu di antara 10 tempat yang ditetapkan pemerintah sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) dengan episentrumnya Taman Nasional Komodo. Pembangunan infrastruktur yang masif tidak hanya menimbulkan konflik dengan masyarakat, tapi juga bakal menyisakan masalah lingkungan.
Pembukaan hutan Bowosie seluas 400 hektare di Desa Gorontalo oleh Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores, misalnya. Hutan penyangga kota itu menjadi target pemerintah mengembangkan ekowisata di sana. Hutan Bowosie bukan semata-mata habitat banyak hewan, tapi juga sumber air masyarakat Labuan Bajo untuk keperluan air bersih dan pertanian. Penebangan pohon di sana bakal merusak sumber air itu.
Semua proyek di Labuan Bajo digelar demi menjadikan daerah itu sebagai destinasi wisata prioritas. Bahkan Labuan Bajo bakal menjadi kawasan wisata premium yang hanya dinikmati oleh segelintir orang.
Pelbagai kejadian tersebut semakin menegaskan gagalnya negara menjamin keadilan dan hak-hal masyarakat yang terkena dampak proyek pembangunan. Pemerintah seperti alpa menimbang efek buruk bagi masyarakat dan lingkungan, sebagai faktor penting sebelum membuat keputusan. Omnibus Cipta Kerja yang pro-investasi adalah manifestasi konkret yang menunjukkan buruknya konsep pembangunan pemerintah.
Deforestasi dan kerusakan lingkungan tak pernah masuk dalam kalkulasi setiap pembangunan. Hak masyarakat adat, warga lokal, tak dianggap sehingga menimbulkan sengketa agraria di mana-mana. Konflik pun tak berkesudahan dan menyengsarakan banyak masyarakat.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo