Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Raden Mas Doktor

Mahasiswa indonesia, juga termasuk dosen, banyak yang tidak menguasai bahasa asing. kini jarang ditemukan mahasiswa sekaliber sukarno, hatta atau syahrir. tapi kini kita punya lebih banyak doktor.

13 November 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AKHIRNYA, tanggal 3 Nopember yang lalu para anggota DPR dalam Komisi IX mendengarnya sendiri dari Prof. Dody Tisna Amidjaja. Para sarjana yang kepingin jadi doktor itu rupanya lemah sekali dalam bahasa asing. Jangankan yang Perancis atau Portugis. Baru yang Inggeris saja sudah payah. Dan bukan satu dua orang saja, tapi kebanyakan. Jadi belum apa-apa "Program 500 Doktor" sudah kesandung di sini. Maka sekelompok kecil yang tahu benar akan peranan bahasa asing dalam telah ilmu itu jadi bertanya: "Tidak tahu bahasa asing kok mau jadi doktor? Lantas selama ini apa yang sudah dibaca? Dan belajarnya nanti maunya dengan cara bagaimana? Maunya sebenarnya apa toh?" Ibu saya yang tidak mengerti duduk persoalannya menangkis: "Mana bisa. Anak kecil kan sudah bisa Inggeris? Itu Fifi yang kemarin nyanyi lagu Inggeris dengan ben The Gedombrengs kan baru di SMP?" Wah, ibu ini memang belum tanya kepada neng Fifi apa dia ngerti Inggerisnya. Kalau hafal sih hafal. Anak-anak jago folksong itu juga hafal lagu Batak lagu Madura lagu Afrika lagu Yahudi lagu Spanyol pokoknya lagu dari seluruh jagad. Tapi jangan tanya soal ngertinya. Sukurlah kalau tahu isinya. Tapi ini bukan berarti tahu bahasanya. Kamus pun tidak Lantas kalau anak itu sudah jadi mahasiswa, bagaimana? Ya sama saja, bu. Tetap buta bahasa asing. Cuma sekarang dia pandai bersolek dengan aneka perkataan asing, dan memang ini berhasil menciptakan sangkaan yang bukan-bukan. Ibu tentu menyangka bahwa dia mahir berbahasa asing, bukan? Ibu tentu mengira bahwa dia lancar membaca buku asing, bukan? Kalau ada mahasiswa yang mampu menyelesaikan satu saja buku ilmiah asing dalam setahun, itu sudah tergolong orang istimewa di negeri kita ini. Yang lainnya, memiliki kamus Asing-lndonesia saja tidak. Kalau ada yang punya, jangan kaget kalau kamusnya cuma sekecil kocek. Itupun jarang dibuka-buka. Baiklah, baik. Lantas kalau dia sudah jadi sarjana, bagaimana? Ya bagaimana lagi bu? Misalkan sekarang sarjana itu jadi dosen. Bagaimana ini? Bagaimana? Ya bagaimana lagi bu? Makanya, mahasiswa juga tahu bahwa banyak dosen tak bisa baca buku asing. Jadi seimbang. Sama-sama tidak bisa, sama-sama tidak kuat baca sama-sama suka bersolek. Rupanya dirasa ada untungnya juga kalau keseimbangan seperti ini dipelihara. Tapi sekarang ibu saya jadi merasa seperti tertipu. Kenapa semua itu tidak saya ketahui, tukasnya. Kenapa? Memang rahasia itu tidak boleh bocor, bu. Orang kampus dan sarjana merasa berkepentingan untuk tetap dianggap maha-pintar oleh masyarakat. Tapi sekali tempo ibu kan tahu juga rahasianya. Misalnya kalau ada berita bahwa mahasiswi ratu kecantikan kita di luar negeri terus bungkam bahasa Inggeris. Padahal di dalam negeri dia selalu lulus testing bahasa Inggeris, dari tingkat lokal sampai ke tingkat nasional. Tapi ibu tidak pernah diberi tahu bahwa kebanyakan sarjana kita pada gagal ujian bahasa Inggeris. Itulah sebabnya mereka tidak jadi bersekolah di luar negeri. Sebab-sebab lain tidak ada bu. Percayalah. Kok Bisa Ibu saya masih bingung. Lantas, kenapa orang bisa jadi mahasiswa? Kenapa dia bisa naik tingkat? Kenapa dia bisa jadi sarjana? Kenapa dia ditunjuk jadi dosen? Itu bisa saja, bu. Sebab tidak ada peraturan bahwa dia harus menguasai bahasa asing. Paling juga ada sedikit anjuran. Tapi anjuran tanpa ujian, apa gunanya? Makanya dosen juga bisa terus naik pangkat tanpa kemampuan dalam bahasa asing. Bayangkan, dosen ini resminya ditugasi membimbing mahasiswa dalam mencari ilmu, menggumuli perpustakaan, menulis risalah dan skripsi. Di samping itu dia diminta mengikuti kemajuan dalam bidang ilmunya sendiri. Bisa diperkirakan apa jadinya. Dan suatu hari dia melamar jadi doktor . . . ! Memang, bu, kita tidak lagi hidup di jaman Jepang. Bapak dahulu harus menempuh ujian bahasa Nippon setiap kali dia ingin naik pangkat. Sampai dia hafal lebih dari seribu huruf kanji. Masyaallah! Juga, mahasiswa kaliber dahulu rupanya sudah tidak ada lagi. Kaliber Sukarno, Hatta, Syahrir, Yamin dan lainnya. Di sekolah menengah saja mereka sudah menguasai beberapa bahasa asing. Mereka menulis dan berpidato dan berdebat dalarn bahasa asing. Di penjara dan pembuangan mereka terus melahap berpeti-peti bacaan asing kaliber berat. Kartini Padahal mereka tidak bergelar doktor dan tidak pernah mimpi jadi doktor. Bahkan Syahrir resminya bukan sarjana. Apalagi Haji Agus Salim. Wak Haji ini cuma lulusan sekolah menengah, tapi saking hebatnya sempat diangkat jadi mahaguru di Cornell University. Raden Mas Ngabehi Purbacaraka, minta ampun. Dari sekolah dasar loncat saja ke lJniversitas Leiden, dan meraih doktornya secara gemilang pula. Dan Muhammad Yamin jebolan Sawahlunto dan sekolah pertanian dan sekolah hukum itu masih mampu juga mengotak-atik bahasa Majapahit dan Shakespeare. Anehnya, bahasa Indonesia mereka juga lebih afdol dari rata-rata bahasa anak sekarang. Dan para mahasiswi yang suka mengenang Kartini itu tentu sadar bahwa bahasa asingnya Kartini itu nomor wahid. Mereka semua itu pelajar tulen setulen-tulennya. Tapi segi keterpelajaran mereka itu selalu saja "dilupakan" setiap kali kita memperingati dan mengikuti sejarah mereka. Ya, untuk menutupi kelemahan dan kemalasan kita sendiri rupanya. Inilah yang namanya ilmu sejarah yang sudah tidak sesuai lagi dengan jaman pembangunan. Untungnya, dalam satu hal kita sekarang masih menang. Ketimbang dulu, kita sekarang punya jauh lebih banyak mahasiswa dan sarjana. Dan doktor.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

PODCAST REKOMENDASI TEMPO

  • Podcast Terkait
  • Podcast Terbaru
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus