AKHIRNYA, tanggal 3 Nopember yang lalu para anggota DPR dalam
Komisi IX mendengarnya sendiri dari Prof. Dody Tisna Amidjaja.
Para sarjana yang kepingin jadi doktor itu rupanya lemah sekali
dalam bahasa asing. Jangankan yang Perancis atau Portugis. Baru
yang Inggeris saja sudah payah. Dan bukan satu dua orang saja,
tapi kebanyakan. Jadi belum apa-apa "Program 500 Doktor" sudah
kesandung di sini. Maka sekelompok kecil yang tahu benar akan
peranan bahasa asing dalam telah ilmu itu jadi bertanya: "Tidak
tahu bahasa asing kok mau jadi doktor? Lantas selama ini apa
yang sudah dibaca? Dan belajarnya nanti maunya dengan cara
bagaimana? Maunya sebenarnya apa toh?"
Ibu saya yang tidak mengerti duduk persoalannya menangkis: "Mana
bisa. Anak kecil kan sudah bisa Inggeris? Itu Fifi yang kemarin
nyanyi lagu Inggeris dengan ben The Gedombrengs kan baru di
SMP?"
Wah, ibu ini memang belum tanya kepada neng Fifi apa dia ngerti
Inggerisnya. Kalau hafal sih hafal. Anak-anak jago folksong itu
juga hafal lagu Batak lagu Madura lagu Afrika lagu Yahudi lagu
Spanyol pokoknya lagu dari seluruh jagad. Tapi jangan tanya soal
ngertinya. Sukurlah kalau tahu isinya. Tapi ini bukan berarti
tahu bahasanya.
Kamus pun tidak
Lantas kalau anak itu sudah jadi mahasiswa, bagaimana? Ya sama
saja, bu. Tetap buta bahasa asing. Cuma sekarang dia pandai
bersolek dengan aneka perkataan asing, dan memang ini berhasil
menciptakan sangkaan yang bukan-bukan. Ibu tentu menyangka bahwa
dia mahir berbahasa asing, bukan? Ibu tentu mengira bahwa dia
lancar membaca buku asing, bukan? Kalau ada mahasiswa yang mampu
menyelesaikan satu saja buku ilmiah asing dalam setahun, itu
sudah tergolong orang istimewa di negeri kita ini. Yang lainnya,
memiliki kamus Asing-lndonesia saja tidak. Kalau ada yang punya,
jangan kaget kalau kamusnya cuma sekecil kocek. Itupun jarang
dibuka-buka.
Baiklah, baik. Lantas kalau dia sudah jadi sarjana, bagaimana?
Ya bagaimana lagi bu?
Misalkan sekarang sarjana itu jadi dosen. Bagaimana ini?
Bagaimana? Ya bagaimana lagi bu? Makanya, mahasiswa juga tahu
bahwa banyak dosen tak bisa baca buku asing. Jadi seimbang.
Sama-sama tidak bisa, sama-sama tidak kuat baca sama-sama suka
bersolek. Rupanya dirasa ada untungnya juga kalau keseimbangan
seperti ini dipelihara.
Tapi sekarang ibu saya jadi merasa seperti tertipu. Kenapa semua
itu tidak saya ketahui, tukasnya. Kenapa? Memang rahasia itu
tidak boleh bocor, bu. Orang kampus dan sarjana merasa
berkepentingan untuk tetap dianggap maha-pintar oleh masyarakat.
Tapi sekali tempo ibu kan tahu juga rahasianya. Misalnya kalau
ada berita bahwa mahasiswi ratu kecantikan kita di luar negeri
terus bungkam bahasa Inggeris. Padahal di dalam negeri dia
selalu lulus testing bahasa Inggeris, dari tingkat lokal sampai
ke tingkat nasional. Tapi ibu tidak pernah diberi tahu bahwa
kebanyakan sarjana kita pada gagal ujian bahasa Inggeris. Itulah
sebabnya mereka tidak jadi bersekolah di luar negeri.
Sebab-sebab lain tidak ada bu. Percayalah.
Kok Bisa
Ibu saya masih bingung. Lantas, kenapa orang bisa jadi
mahasiswa? Kenapa dia bisa naik tingkat? Kenapa dia bisa jadi
sarjana? Kenapa dia ditunjuk jadi dosen?
Itu bisa saja, bu. Sebab tidak ada peraturan bahwa dia harus
menguasai bahasa asing. Paling juga ada sedikit anjuran. Tapi
anjuran tanpa ujian, apa gunanya? Makanya dosen juga bisa terus
naik pangkat tanpa kemampuan dalam bahasa asing. Bayangkan,
dosen ini resminya ditugasi membimbing mahasiswa dalam mencari
ilmu, menggumuli perpustakaan, menulis risalah dan skripsi. Di
samping itu dia diminta mengikuti kemajuan dalam bidang ilmunya
sendiri. Bisa diperkirakan apa jadinya. Dan suatu hari dia
melamar jadi doktor . . . !
Memang, bu, kita tidak lagi hidup di jaman Jepang. Bapak dahulu
harus menempuh ujian bahasa Nippon setiap kali dia ingin naik
pangkat. Sampai dia hafal lebih dari seribu huruf kanji.
Masyaallah!
Juga, mahasiswa kaliber dahulu rupanya sudah tidak ada lagi.
Kaliber Sukarno, Hatta, Syahrir, Yamin dan lainnya. Di sekolah
menengah saja mereka sudah menguasai beberapa bahasa asing.
Mereka menulis dan berpidato dan berdebat dalarn bahasa asing.
Di penjara dan pembuangan mereka terus melahap berpeti-peti
bacaan asing kaliber berat.
Kartini
Padahal mereka tidak bergelar doktor dan tidak pernah mimpi jadi
doktor. Bahkan Syahrir resminya bukan sarjana. Apalagi Haji Agus
Salim. Wak Haji ini cuma lulusan sekolah menengah, tapi saking
hebatnya sempat diangkat jadi mahaguru di Cornell University.
Raden Mas Ngabehi Purbacaraka, minta ampun. Dari sekolah dasar
loncat saja ke lJniversitas Leiden, dan meraih doktornya secara
gemilang pula. Dan Muhammad Yamin jebolan Sawahlunto dan sekolah
pertanian dan sekolah hukum itu masih mampu juga mengotak-atik
bahasa Majapahit dan Shakespeare.
Anehnya, bahasa Indonesia mereka juga lebih afdol dari rata-rata
bahasa anak sekarang. Dan para mahasiswi yang suka mengenang
Kartini itu tentu sadar bahwa bahasa asingnya Kartini itu nomor
wahid. Mereka semua itu pelajar tulen setulen-tulennya. Tapi
segi keterpelajaran mereka itu selalu saja "dilupakan" setiap
kali kita memperingati dan mengikuti sejarah mereka. Ya, untuk
menutupi kelemahan dan kemalasan kita sendiri rupanya. Inilah
yang namanya ilmu sejarah yang sudah tidak sesuai lagi dengan
jaman pembangunan.
Untungnya, dalam satu hal kita sekarang masih menang. Ketimbang
dulu, kita sekarang punya jauh lebih banyak mahasiswa dan
sarjana. Dan doktor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini