Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Di tangan pemimpin yang korup, universitas rentan menjadi tempat korupsi.
Otonomi perguruan tinggi berjalan tanpa akuntabilitas.
Sikap masyarakat yang menoleransi suap menyuburkan praktik korupsi.
KASUS korupsi yang menyeret Rektor Universitas Udayana I Nyoman Gde Antara merupakan bukti kegagalan penerapan otonomi perguruan tinggi negeri. Petinggi kampus memahami otonomi sekadar sebagai lisensi untuk mencari dana sendiri. Akibatnya, di tangan pemimpin yang korup, universitas rentan menjadi tempat korupsi. Seperti yang terjadi di Udayana, rektornya kebablasan menempuh segala cara demi memperoleh duit sebanyak-banyaknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kejaksaan Tinggi Bali menetapkan Nyoman sebagai tersangka korupsi dana sumbangan pengembangan institusi. Memimpin tim penerimaan mahasiswa baru pada 2018-2022, Nyoman diduga memungut uang pangkal Rp 6 juta hingga Rp 1,2 miliar secara ilegal dari mahasiswa yang lulus lewat jalur mandiri. Jaksa menaksir kerugian negara dalam kasus ini hampir Rp 110 miliar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kasus Nyoman memperlihatkan bagaimana otonomi perguruan tinggi berjalan tanpa akuntabilitas. Status otonomi justru membuka peluang penyalahgunaan wewenang oleh pejabat kampus dan karenanya membuka pintu bagi praktik korupsi.
Penyelewengan ala Nyoman dapat terjadi juga karena lemahnya pengawasan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Kementerian selama ini seolah-olah membiarkan pejabat kampus berlaku sewenang-wenang dalam mengelola institusinya, sejauh mereka loyal kepada pemerintah.
Universitas Udayana menyandang predikat Perguruan Tinggi Negeri Badan Layanan Umum (PTNBLU). Status ini membolehkan kampus mengelola keuangannya sendiri asalkan siap diaudit dan melaporkan semua penerimaan kepada negara. Namun pengaturan sistem keuangan yang ketat pada kampus berstatus badan layanan umum itu rupanya tak mampu mencegah korupsi.
Suap dan pungutan liar dalam penerimaan mahasiswa baru ditengarai terjadi juga di banyak kampus. Lebih-lebih kampus yang menyandang status PTN Berbadan Hukum (PTNBH). Status tersebut memungkinkan perguruan tinggi mencari dan mengatur keuangan sendiri. Termasuk membuka jalur mandiri yang menjadi celah untuk jual-beli slot dan memungut sumbangan dari calon mahasiswa. Semakin bergengsi sebuah kampus dan program studi, banderol kursi bisa semakin mahal.
Masyarakat juga turut punya andil atas maraknya suap di perguruan tinggi negeri. Sukar untuk memberantas praktik korupsi di kampus selama kita masih menilai bahwa berkuliah dan menyandang gelar akademis dari kampus negeri mengangkat muruah dan status sosial. Para calon mahasiswa dan orang tuanya tak sungkan menyogok pejabat kampus agar bisa diterima di kampus bergengsi.
Selama ini, para calon mahasiswa dan orang tua bertindak seolah-olah sebagai korban pemerasan jika praktik suap terbongkar. Padahal niat buruk mereka untuk memakai segala cara agar diterima di perguruan tinggi negeri sudah ada sejak awal dengan menyetujui permintaan sogokan, kemudian membayarnya.
Praktik pungutan dan suap masuk perguruan tinggi negeri belakangan sering terjadi. Pada Agustus 2022, Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap Rektor Universitas Lampung Karomani karena menerima uang sogok Rp 5 miliar. Karomani memperdagangkan kursi mahasiswa baru, kemudian menyamarkan duit rasuahnya dalam bentuk deposito dan emas.
Tata kelola yang bobrok, rektor yang korup, serta sikap masyarakat yang menoleransi suap menyuburkan praktik korupsi di kampus dan melahirkan orang-orang culas yang menghalalkan semua cara untuk mencapai tujuannya. Karena itu, pemerintah perlu menimbang kembali dengan sungguh-sungguh komersialisasi kampus negeri, dan proyek otonomi perguruan tinggi, yang terbukti membuat universitas kehilangan integritas dan fungsinya sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo