Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUNGGUH mengherankan sikap pemerintah dalam pengelolaan zakat. Meski Mahkamah Konstitusi telah melarang negara mengangkangi semua urusan zakat, masih saja lahir peraturan pemerintah yang berbau monopoli. Kedangkaran itu terlihat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2014 tentang Zakat, yang diketuk pada pertengahan Februari lalu.
Dalam aturan itu, misalnya, disebutkan Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) berwenang mengumpulkan zakat dari unit pengelola zakat yang ada di perusahaan badan usaha milik negara. Aturan ini seolah-olah melegalkan Baznas merebut dana zakat unit pengelola zakat itu, yang selama bertahun-tahun sudah berjalan baik tanpa harus menginduk ke Baznas. Bahkan dana yang mereka himpun bisa lebih besar daripada perolehan Baznas.
Sikap keras pemerintah itu juga tecermin pada pembatasan pendirian perwakilan lembaga amil zakat seperti diatur dalam Pasal 62. Lembaga amil zakat partikelir yang berskala nasional, seperti Dompet Dhuafa dan lembaga amil zakat Nahdlatul Ulama atau Muhammadiyah, hanya boleh mendirikan satu kantor cabang di tiap provinsi. Jika aturan ini kita terima, kita akan tampak sangat tolol dan tak melihat realitas di lapangan.
Faktanya, sudah berbilang tahun lembaga-lembaga itu memiliki banyak perwakilan. Sebagian khalayak malah lebih percaya kepada badan zakat swasta ketimbang pemerintah. Mereka profesional dan tak melulu berlagak ala Sinterklas, bagi-bagi duit lalu selesai. Banyak lembaga itu yang menyalurkan dana umat untuk kegiatan produktif: duit zakat menjelma sekolah dan rumah sakit gratis atau kredit murah untuk kaum papa.
Pengukuhan kembali regulasi zakat menunjukkan negara tak punya visi mengenai pengelolaan zakat. Alasan pemerintah melarang swasta mengurus zakat lantaran banyak lembaga nakal sungguh tak bernalar. Tugas pemerintahlah mendidik mereka, bukan malah menghentikan program bagus yang sudah dirintis.
Syahwat pemerintah mengangkangi pengelolaan zakat sebetulnya sudah tampak sejak terbitnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Zakat. Dalam undang-undang itu, semua urusan zakat hanya boleh dilakukan badan amil zakat pelat merah alias Baznas dan organisasi kemasyarakatan. Aturan itu kontan memantik protes. Sembilan organisasi penghimpun zakat dan 11 orang menggugat aturan itu di Mahkamah Konstitusi. Hasilnya, pada November 2013 Mahkamah mengabulkan gugatan tersebut. Menurut MK, pasal yang melarang orang menjadi pengelola zakat berpotensi menghalangi hak warga negara yang ingin membayarkan zakat. Larangan itu juga dinilai tak tepat secara sosiologis.
Sayangnya, putusan itu tak benar-benar memupus ambisi monopoli zakat oleh negara. Terbukti keluar lagi peraturan pemerintah yang membatasi gerak lembaga amil zakat swasta. Jika peraturan ini dibiarkan, dampaknya bisa berabe. Pengelolaan zakat menjadi porak-parik. Padahal potensi dana zakat di Indonesia, yang menurut Asian Development Bank mencapai Rp 217 triliun, bisa menjadi alat membantu mengentaskan orang miskin. Saat ini lembaga-lembaga amil zakat baru bisa menghimpun Rp 3 triliun.
Negara semestinya tak usah merecoki urusan zakat. Badan amil zakat pemerintah seharusnya berfungsi sebagai regulator dan pengawas zakat, mirip dengan yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan. OJK tidak mengelola dana masyarakat. Bank umumlah pengumpul dana publik itu. Yang terjadi sudah salah kaprah. Baznas menjadi regulator, pengawas, sekaligus operator pengumpul zakat. Harus ada keberanian mengamendemen undang-undang zakat dan peraturan pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo