Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Reformasi Kedua Kepolisian Republik

23 Agustus 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TANPA perubahan radikal, Kepolisian Negara Republik Indonesia tak akan mampu memenuhi tuntutan reformasi publik. Kata reformasi saja belakangan ini sudah menjadi sekadar kombinasi huruf, yang diucapkan berulang-ulang untuk menangkis kritik atau mengalihkan isu. Situasi kepolisian sudah gawat darurat. Perubahan mengharuskan perombakan luar biasa yang diawali penggantian pucuk pimpinan dan harus melibatkan pihak luar.

Kepala Polri yang sekarang, Bambang Hendarso Danuri, adalah pusat dari institusi yang gagal mengubah sentimen publik. Seharusnya dia menyiarkan pesan ke luar, melalui tindakan ke dalam tanpa kompromi, bahwa polisi mengubah diri dan sudah lebih baik dibanding masa lalu. Tapi jangankan membuat perbaikan, Kapolri justru menambah panjang daftar keburukan, yang kian menguatkan perasaan jengah, gusar, dan terhina oleh kinerja polisi.

Puncak tindakan tak terpuji itu justru dilakukan Kapolri di ujung masa jabatannya—berakhir pada Oktober nanti. Tanpa mempertimbangkan asas kepatutan, Kapolri menempatkan orang-orang kepercayaan dengan prestasi meragukan di sejumlah posisi penting. Dia sengaja memilih beberapa orang yang sulit disebut bersih, karena mereka termasuk perwira polisi yang memiliki rekening ”gendut” dengan asal-usul mencurigakan. Ini masalah serius yang oleh Bambang justru dianggap sudah selesai dengan verifikasi internal. Padahal verifikasi oleh kalangan dalam itu dianggap tidak meyakinkan dan kurang masuk akal.

Di sini ada masalah kredibilitas, sesuatu yang dalam rapor Polri tercatat merah. Sebagian ”cacat” kredibilitas ini tentu saja tak lepas dari berbagai blunder Bambang selama memimpin. Langkah-langkah serampangan itu menjadi indikator gamblang betapa penegak hukum berseragam cokelat itu belum juga lepas dari citra buruk: jauh dari ramah, tak profesional, dan tak bersih. Semua hal itu bisa saja membuat sebagian orang berpikir bahwa perilaku polisi di sini tidak ada bedanya dengan di negara yang tidak demokratis, dipimpin diktator, dan dijangkiti penyakit korupsi tingkat ganas.

Ketidakhadiran orang nomor satu Kepolisian RI itu untuk melantik sejumlah pejabat baru polisi, dua pekan lalu, merupakan contoh mutakhir karut-marut yang kian akut. Simpang-siurnya penjelasan tentang menghilangnya Bambang Hendarso bukanlah semata-mata bukti polisi tak mampu berkomunikasi dengan baik secara internal maupun eksternal. Tapi dari kejadian itu orang juga bisa mengendus ketidakberesan yang lebih genting. Kabarnya, pada hari dia menghilang, Bambang dipanggil dan ditegur Presiden Susilo Bambang Yudhoyono soal rencana pelantikan para pejabat baru yang tidak mencerminkan semangat perubahan untuk menjadi lebih baik itu.

Peristiwa itu terjadi ketika Polri lagi-lagi sedang babak-belur sehubungan dengan persidangan kasus dugaan penyuapan pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi oleh Anggodo Widjojo. Dalam hal ini, Bambang menjadi sasaran langsung kecaman karena tak bisa menunjukkan bukti rekaman percakapan antara Ade Rahardja, salah seorang deputi Komisi, dan Ary Muladi, pengusaha yang diduga makelar kasus. Bambang Hendarso sangat ceroboh mengatakan rekaman itu ada di tangannya, padahal belakangan polisi gagal memperdengarkan di pengadilan dan akhirnya mengakui rekaman itu tak pernah ada.

Apa pun alasannya, ”kebohongan terbuka” itu tak bisa tidak mesti berkonsekuensi tunggal: pemecatan—jika yang bersangkutan tak mau mundur. Presiden Yudhoyono tak boleh bimbang untuk melakukannya sesegera mungkin.

Segera sesudah itu Presiden tak boleh ragu pula untuk menetapkan bahwa pengganti Bambang akan dipilih dari kalangan di luar Polri. Hal ini bisa diikuti dengan pembentukan tim yang benar-benar independen, tanpa melibatkan unsur polisi, yang bertugas memantau dan mengawasi pelaksanaan reformasi di tubuh kepolisian. Tugas tim ini bisa juga dilaksanakan oleh Komisi Kepolisian Nasional, dengan memberinya wewenang lebih besar.

Siapa pun yang dipilih sebagai Kapolri baru, tantangannya memang akan tetap besar. Tapi, dengan orang yang tepat, tim atau komisi yang kredibel, juga kemauan politik yang kuat dan dukungan publik, peluang perbaikan kepolisian pasti lebih besar. Langkah membentuk tim dari luar lebih baik ketimbang menyerahkan segala sesuatu kepada kepolisian sendiri. Sudah begitu banyak harapan publik kandas lantaran reformasi dilakukan kalangan internal kepolisian sendiri. Penelusuran rekening ”gendut” merupakan satu buktinya.

Dengan begini ambruknya kepercayaan publik terhadap polisi, sekarang waktunya kepolisian merelakan kalangan eksternal, sebagai wakil dari publik, ikut membantu menjalankan ”reformasi kedua” di tubuhnya. Kepolisian tak boleh terus-menerus mengecewakan publik, stakeholder-nya yang utama.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus