Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEPALA Kepolisian RI melakukan kesalahan fatal dalam kasus ”rekaman percakapan” antara makelar kasus Ary Muladi dan pejabat Komisi Pemberantasan Korupsi Ade Rahardja. Pengakuan bahwa pihaknya tak memiliki rekaman itu, berbalik seratus delapan puluh derajat dari keterangan sebelumnya, menunjukkan kinerja kepolisian sangat mengenaskan. Sikap ekstrahati-hati yang mesti ditunjukkan penegak hukum tak terlihat di sini.
Fakta yang terungkap dari sidang Anggodo Widjojo, yang didakwa menyuap pejabat Komisi Pemberantasan Korupsi, itu mematahkan keterangan selama hampir setahun ini bahwa kepolisian, juga Kejaksaan Agung, menyimpan rekaman tersebut. Bahkan Kepala Kepolisian Bambang Hendarso Danuri, November tahun lalu, dengan sangat meyakinkan mengatakan di depan Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat bahwa kepolisian memegang rekaman tersebut. Begitu pula Jaksa Agung Hendarman Supandji.
Di Senayan, Kepala Polri kelihatan jelas berusaha meyakinkan kebenaran adanya ”hubungan gelap” antara dua pemimpin KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah, dengan pihak Anggodo. ”Rekaman” itulah yang diajukan Kepala Kepolisian sebagai kartu truf terjadinya hubungan tadi. Logika kepolisian, dengan hubungan terlarang itu dua pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi telah melakukan pemerasan dan penyalahgunaan wewenang. Tuduhan ini akhirnya terbantahkan setelah rekaman pembicaraan antara Anggodo dan sejumlah pihak diperdengarkan di Mahkamah Konstitusi.
Patut disesalkan, keterangan Kepala Kepolisian itu ternyata tanpa dukungan bukti kuat dan begitu gampangnya diralat bahwa rekaman yang dimaksud hanyalah data catatan kontak alias call data record antara Ary Muladi dan Ade Rahardja. Padahal catatan kontak merupakan bukti sangat lemah untuk menyatakan keduanya pernah bertemu, karena bisa saja nomor telepon digunakan orang lain.
Mengeluarkan pernyataan salah dengan data yang berasal dari anak buah yang tidak akurat—atau berbohong, siapa tahu—hanya menunjukkan betapa serampangan kerja penegak hukum. Keterangan Kepala Polri dan Jaksa Agung yang salah jelas sudah mencederai pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi. Teguran terhadap anak buah saja belum cukup. Kepala Kepolisian dan Jaksa Agung harus menunjukkan tanggung jawab yang lebih besar.
Paling tidak tanggung jawab untuk tindakan dua pemimpin lembaga penegak hukum itu, yang sejak awal seperti ”memakai kacamata kuda” dalam melakukan penyidikan. Mereka hanya bergerak untuk mengikuti satu keinginan: lekas menjerat pemimpin KPK. Mereka menyingkirkan sikap ekstrahati-hati dalam melakukan penyidikan dan penuntutan.
Sebaliknya kita melihat pola lama yang sebetulnya tak pantas lagi dilakukan di era reformasi ini: pukul dulu, urusan belakangan. Ketika kasus ”cicak versus buaya” ramai dibicarakan, publik juga menyaksikan Bambang Hendarso Danuri salah menyampaikan informasi mengenai Nurcholish Madjid, yang membuatnya harus minta maaf kepada keluarga cendekiawan Islam itu.
Dalam kasus ”rekaman” ini, Kepala Polri dan Jaksa Agung perlu segera memberikan keterangan yang sesungguhnya, agar kedua pejabat tinggi itu tidak diduga melakukan pembohongan publik. Tanpa penjelasan memadai, citra kepolisian dan kejaksaan yang buruk di mata masyarakat akan semakin terperosok.
Selanjutnya, Bambang Hendarso Danuri dan Hendarman Supandji perlu berusaha mengembalikan kepercayaan publik pada instansinya. Itu bisa dimulai dengan mengundurkan diri, keduanya telah gagal menunjukkan keteladanan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo