Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Titik Nadir Kepolisian

Persoalan di tubuh kepolisian terus berdatangan. Ekspresi kemarahan masyarakat bermunculan. Reformasi mutlak diperlukan.

31 Juli 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Amnesty International Indonesia mencatat 141 kasus penyiksaan terhadap 226 korban dalam 100 kasus yang diduga melibatkan polisi.

  • Dalam sejumlah permasalahan di tubuh kepolisian, pembelaan dilakukan dengan dalih melindungi institusi.

  • Kerusakan itu diperparah dengan tidak adanya lembaga pengawas kepolisian yang kuat, baik di lingkup internal maupun eksternal.

PERSOALAN di tubuh Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) seakan-akan tiada habisnya, hilang satu tumbuh seribu. Melalui media massa, publik bisa membaca berbagai permasalahan di kepolisian. Di media sosial, berbagai ujaran seperti "polisi lagi polisi lagi" atau "oknum kalo dikumpulin bisa jadi satu mabes" dialamatkan kepada korps baju cokelat ini. Ekspresi tersebut dapat dimaknai sebagai rasa muak, jijik, sekaligus marah terhadap kepolisian.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Institusi ini memang konsisten menjadi sorotan. Sepanjang 2019-2024, Amnesty International Indonesia mencatat 141 kasus penyiksaan terhadap 226 korban dalam 100 kasus yang diduga melibatkan polisi. Kepolisian juga menduduki puncak klasemen dalam laporan mengenai dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang diterima Komisi Nasional HAM pada 2023 dengan 771 laporan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Polisi dan kekerasan seolah-olah sangat sulit dipisahkan. Metode penyiksaan jamak dilakukan petugas dalam penegakan hukum untuk mendapatkan pengakuan, informasi, atau keterangan. Contoh mutakhirnya terlihat dalam kasus kematian Muhammad Rizky Rudiana alias Eky dan Vina Dewi Arsita di Cirebon, Jawa Barat, yang berujung dugaan praktik salah hukum serta peradilan sesat terhadap para terpidana.

Demikian halnya dalam kasus dugaan penganiayaan anak bernama Afif Maulana di Sumatera Barat yang berujung kasus dugaan pembunuhan di luar hukum. Kekerasan juga sering digunakan aparat kepolisian ketika mengawal aksi demonstrasi dan penyelesaian konflik dengan dalih menjaga situasi kondusif serta keamanan.

Sekalipun terdapat undang-undang dan peraturan internal yang melarang tindak kekerasan, tindakan itu acap kali diambil sebagai jalan pintas untuk menyelesaikan semua masalah. Menurut Eko Riyadi (2020), kekerasan merupakan pilihan paling murah dan mudah dalam rangka penanganan masalah sosial.

Dalam penegakan hukum, penyiksaan digunakan untuk mendapatkan pengakuan dan informasi dari orang yang diduga melakukan tindak pidana. Padahal Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana telah mengeliminasi "keterangan tersangka" sebagai alat bukti di tingkat penyidikan. Tak lunturnya kultur kekerasan yang memiliki daya rusak tinggi ini merupakan salah satu indikator kegagalan demiliterisasi polisi setelah Polri dikeluarkan dari struktur militer (Tentara Nasional Indonesia).

Salah satu racun dalam kultur kepolisian di Indonesia adalah "tembok biru yang diam" atau "the blue wall of silence". Istilah ini, menurut Larry E. Sullivan dan Marie Simonetti Rosen (2005), mengacu pada peraturan tidak tertulis yang berlaku di institusi kepolisian untuk tidak melaporkan penyimpangan, pelanggaran, dan kejahatan (police misconduct) yang dilakukan polisi lain.

Dalam sejumlah permasalahan di tubuh kepolisian, pembelaan dilakukan dengan dalih melindungi institusi dengan membangun posisi resistan terhadap kritik publik dan media massa. Selain itu, tembok biru tersebut dibangun dengan tafsir keliru semangat jiwa korsa (esprit de corps) sehingga terbentuk segregasi vertikal polisi versus publik. Hasilnya, anggota kepolisian akan bertindak untuk membela institusi secara berlebihan meski tanpa diperintah.

Secara gamblang tembok ini bisa terlihat dalam kasus pembunuhan Brigadir Yosua Hutabarat pada 2022, yang menyeret puluhan polisi dalam tindak pidana obstruction of justice. Tembok ini kembali muncul dalam kasus dugaan penganiayaan yang berujung kematian Afif Maulana di Padang, Sumatera Barat, pada 9 Juni 2024.

Dalam kasus terakhir itu, Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Barat menyikapinya dengan narasi penyerangan terhadap institusi. Mereka memposisikan diri sebagai korban trial by the press dan ancaman pemolisian terhadap pihak yang mengungkap kasus tersebut. Selain itu, dalam banyak kasus, polisi kerap menggunakan kata sakti "oknum" yang biasa digunakan untuk menyikapi pelanggaran oleh anggotanya. Label tersebut digunakan untuk mengalihkan permasalahan sebagai kesalahan personal. Dengan begitu, institusi terlepas dari tanggung jawab melakukan evaluasi dan pembenahan menyeluruh.

Setidaknya ada tiga kemungkinan sulitnya merobohkan tembok biru tersebut. Pertama, adanya sentimen "saling sandera" antar-anggota kepolisian alias mereka mengetahui keburukan satu sama lain. Kedua, tidak ada perlindungan bagi anggota kepolisian yang melaporkan penyimpangan polisi lain. Ketiga, hubungan patron-klien serta budaya feodal, militeristik, dan senioritas yang melahirkan relasi kuasa antar-anggota kepolisian. Situasi tersebut menyebabkan tidak ada ruang aman bagi polisi profesional.

Kelemahan Pengawasan Internal dan Eksternal

Kerusakan itu diperparah dengan tidak adanya lembaga pengawas kepolisian yang kuat, baik di lingkup internal maupun eksternal. Menurut Fadhil Alfathan (2021), secara internal, Divisi Profesi dan Pengamanan Polri tidak dapat menjadi harapan untuk mengawasi anggota kepolisian. Sebab, kedudukannya sebagai bagian internal kepolisian memungkinkan adanya konflik kepentingan dan relasi kuasa. Dengan demikian, menjadi amat sulit memastikan adanya proses pengawasan yang independen, transparan, akuntabel, dan imparsial.

Adapun secara eksternal, Komisi Kepolisian Nasional tidak didesain sebagai pengawas, melainkan sekadar lembaga penasihat presiden untuk urusan kepolisian. Selain itu, lembaga independen seperti Komnas HAM dan Ombudsman memiliki keterbatasan kewenangan serta hanya dapat memberikan rekomendasi yang biasanya berakhir di atas meja. Walhasil, lembaga-lembaga tersebut tidak dapat menindak anggota kepolisian yang bermasalah.

Pada sektor penegakan hukum, kontrol kejaksaan sebagai pengendali perkara atas penyidikan yang dilakukan kepolisian pun tidak berjalan dengan baik. Akibatnya, sekalipun polisi menggunakan metode yang melanggar hukum, seperti penyiksaan dalam pengungkapan kasus, jaksa tak bisa mengoreksi atau menolak kasus tersebut. Pengawasan pengadilan seperti dalam proses praperadilan juga tidak efektif karena keterbatasan kewenangan, pasifnya hakim, dan pengujian post-factum. Sistem peradilan hanya melegitimasi pelanggaran HAM yang terjadi.

Ketiadaan lembaga pengawas yang kuat menjadi salah satu sisi gelap institusi kepolisian yang mengakibatkan absennya penindakan dan penghukuman efektif untuk menimbulkan efek jera. Kondisi ini berujung impunitas serta hilangnya jaminan kepuasan dan ketidakberulangan bagi korban.

Reformasi Polri secara Menyeluruh

Harapan akan polisi yang profesional, demokratis, dan menjunjung tinggi HAM masih sangat jauh dari kenyataan. Terpaan berbagai permasalahan menempatkan kepolisian pada titik nadir. Menurut Bambang Widodo Umar (2015), dalam bernegara, wajah polisi cenderung memiliki sikap seperti aktor politik; menjadi aktor pemegang monopoli kekerasan yang secara politik dapat digunakan untuk alat dominasi politik; dan menjadi kekuatan yang dapat menggunakan tindakan hukum sebagai alat politik. Hal itu merupakan sisi gelap sistem dominasi negara, yang mengkonstruksikan polisi secara tidak langsung ikut menggiring grouping politic.

Untuk mengeliminasi permasalahan tersebut diperlukan pemolisian demokratis. Menurut David H. Bayley (2001), ada empat syarat yang harus terpenuhi untuk menciptakan hal itu: (1) kepolisian harus responsif dan memprioritaskan pelayanan terhadap kebutuhan warga negara; (2) kepolisian bertanggung jawab kepada hukum, bukan pemerintah; (3) kepolisian harus menghormati dan melindungi HAM, terutama hak-hak yang menjadi ciri khas negara demokrasi; serta (4) kepolisian harus transparan dalam segala bentuk tindakan atau kegiatannya.

Reformasi Polri secara struktural, kultural, dan instrumental kian mendesak serta sepatutnya dikedepankan oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk merespons aspirasi masyarakat sipil serta korban yang selama ini berjuang mendapatkan kebenaran dan keadilan. Pemerintah dan DPR seharusnya berfokus pada agenda tersebut serta menghentikan pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang menggelembungkan tugas dan kewenangan polisi.

Jika reformasi Polri tak tercapai, kita akan melihat polisi sebagaimana yang dituliskan Pramoedya Ananta Toer dalam Cerita dari Blora: "Menurut pengertianku politik adalah polisi, dan seisi rumah kami jijik pada apa saja yang berhubungan dengan polisi."

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus