Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Priyambudi Sulistiyanto
Mata dunia kembali terpaku pada Burma. Rezim militer junta menembaki para demonstran—sebagian besar biksu Buddha— dengan membabi buta, pekan lalu. Perserikatan Bangsa-Bangsa serta sebagian besar negara di dunia mengutuk kebiadaban itu. Duta khusus PBB Ibrahim Gambari tiba di Burma pada 29 September lalu. Tujuannya mencari penyelesaian damai serta bertemu dengan pemimpin militer nomor satu Burma, Jenderal Than Shwe. Dia juga menemui pemimpin oposisi dari Liga Nasional Demokrasi Aung San Suu Kyi. Cina mendapat banyak sorotan karena negara ini dianggap salah satu kunci dan memiliki pengaruh kuat untuk menekan rezim militer Burma.
Di dalam negeri, gerakan damai makin luas dan mendapat dukungan luas dari rakyat Burma. Pertanyaannya, apakah transisi demokrasi akan terjadi di Burma. Sejarah politik di negeri ini penuh tragedi berdarah dan pergolakan. Bapak bangsa Jenderal Aung San (ayah Aung San Suu Kyi) beserta enam anggota kabinet dibunuh pada 1947. Politikus sipil U Nu segera mengambil alih dan memproklamasikan kemerdekaan pada 1948. Di bawah U Nu, Burma memilih demokrasi parlementer yang penuh ketidakstabilan politik pada dekade 1950.
Perang sipil melawan etnis Karen dan etnis minoritas lain mendorong masuknya pihak militer pimpinan Jenderal Ne Win ke kancah politik pada 1958-1960. Jenderal ini mengudeta U Nu pada 1962. Sejak saat itu Burma dikuasai militer.
Ne Win membawa negara itu ke jalan sosialisme gaya Burma yang mengisolasi diri dari dunia luar—disertai meluasnya perasaan ketakutan pada dunia internasional. Cara berpikir ini dikembangkan oleh kelompok militer. Jarang sekali ada perwira militer yang belajar ke luar negeri. Ini berbeda dengan kelompok militer di Thailand, Indonesia, dan Filipina, yang membuka hubungan dengan kalangan intelektual dan dunia internasional.
Pendek kata, kelompok militer di Burma merasa mereka yang menentukan keutuhan dan stabilitas politik Burma. Mereka tidak bersedia membagi atau melimpahkan kekuasaan ke pihak lain. Partai Liga Demokrasi Nasional (NLD) yang dipimpin Aung San Suu Kyi menang dalam pemilu demokratis pada 1990. Tapi pihak militer tidak bersedia mengakuinya dan menyerahkan mandat pemerintahan ke NLD. Keengganan pihak militer ini menjadi semacam doktrin militer yang dipegang para petinggi militer pasca-Ne Win.
Setelah berkuasa empat dekade, rezim militer makin sulit lengser dari politik. Hampir semua posisi strategis—dari pemerintahan, parlemen, lembaga hukum, media, bisnis, hingga perdagangan—mereka kuasai. Ketika melakukan riset di Burma pada akhir 1997, saya menemukan pihak militer menguasai secara total semua jalur transportasi, perhotelan, dan perbelanjaan di kota besar seperti di Rangoon dan Mandalay. Para investor asing harus berhubungan dengan pihak militer untuk melancarkan dan mengamankan usahanya di Burma.
Karena itu saya merasa pesimistis transisi demokrasi akan terwujud di Burma dalam waktu dekat. Pertama, pihak militer akan menolak keras mundur dari politik. Dan belum ada tanda-tanda konkret perpecahan di dalam tubuh militer. Kalaupun ada ketegangan, ujung-ujungnya jenderal lainnya akan mengambil alih kekuasaan. Misalnya, jika pemimpin militer Than Shwe digusur, Jenderal Maung Aye akan menggantikannya. Jika gagal juga, jenderal lain akan muncul, dan seterusnya. Kudeta mungkin terjadi, tapi dari kalangan mereka sendiri.
Kedua, kekuatan oposisi belum solid benar. Pemimpin oposisi Aung San Suu Kyi memang terkenal dan diakui sebagai Nelson Mandela-nya Burma. Namun infrastruktur politik oposisi sipil telah dihancurkan oleh pihak militer sejak pemilu 1990. Kebanyakan tokoh sipil sudah tua dan berada di penjara. Yang muda belum siap berpolitik secara profesional. Akibatnya, Aung San Suu Kyi seperti sendirian dan hanya menjadi tokoh pemersatu bagi kelompok oposisi di Burma. Tidak ada ruang politik untuk mempersiapkan politikus profesional.
Ketiga, tekanan internasional amat terbatas pengaruhnya, termasuk peran Cina, PBB, dan ASEAN. Pihak militer di Burma menolak intervensi pihak asing untuk urusan dalam negeri Burma. Sikap ini selalu menjadi pegangan mereka. Penerapan sanksi ekonomi yang selama ini dilakukan beberapa negara Barat tidak membawa hasil, malah kian menyusahkan rakyat. Intervensi militer internasional seperti dilakukan Amerika Serikat di Irak atau Afganistan akan ditentang komunitas internasional.
Jalan terbaik adalah mempertemukan semua komponen politik yang bersengketa, seperti pihak militer, NLD, etnis minoritas, tokoh politik eksil, biksu, dan mahasiswa, dalam sebuah forum rekonsiliasi nasional yang dikelola oleh mereka sendiri namun difasilitasi oleh komunitas internasional. Indonesia bisa ikut berperan serta secara konkret karena Indonesia (terutama pihak militernya) memiliki perjalanan politik yang mirip dengan di Burma.
Forum rekonsiliasi ini dapat menjadi solusi menyelesaikan krisis politik secara damai. Bentuknya bisa apa saja, yang penting merupakan hasil kesepakatan mereka, dan bukan tekanan dari pihak luar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo