Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Dari Penyair sampai Penyiar

8 Oktober 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

American Field Service sudah melahirkan banyak bintang. Selama 50 tahun ini, sebagian alumni AFS, yang biasa disebut returnee, menjadi orang penting di negeri ini. Sebut saja, misalnya, penyair Taufiq Ismail, bekas Kepala Bakin Letnan Jenderal TNI (Purnawirawan) Z.A. Maulani, pengusaha Tanri Abeng dan Iman Taufik, pendidik Arif Rahman, sosiolog Imam Prasodjo, penggiat listrik rakyat Tri Mumpuni, dan penyiar televisi Najwa Shihab.

Taufiq Ismail merupakan angkatan pertama AFS Indonesia bersama Maulani dan lima pelajar lain. Saat itu, rombongan wong ndeso ini harus menempuh perjalanan dengan kapal laut selama sebulan sebelum mendarat di Amerika. Beruntung, Maulani kehilangan paspornya di kereta api dalam perjalanan dari Malang, sehingga ia tak perlu berlama-lama di laut. Dia menyusul dengan pesawat udara.

Di Amerika, Taufiq mengaku sempat mengalami gegar budaya (culture shock). Pada 1956 itu, Taufiq untuk pertama kalinya melihat televisi, mesin penjual minuman otomatis, dan gedung-gedung pencakar langit. Ia tinggal di pedesaan di pinggiran Milwaukee.

Maulani mengisahkan pengalamannya dalam buku 50 tahun AFS bagaimana ia menjadi lebih gemuk dalam tempo dua bulan. ”Pertama-tama saya masih malu-malu, makan hanya sedikit. Tapi, karena terus lapar, saya jadi banyak makan dan badan saya melar. Orang tua angkat (istilah untuk pemilik rumah) membelikan baju baru untuk saya,” katanya.

Berbeda lagi pengalaman Imam B. Prasodjo. Peserta tahun 1978 ini diminta menjadi pengajar dalam pengajian anak-anak di masjid Arizona. Penunjukan itu dilakukan setelah Imam mengaku bisa membaca Al-Quran ketika ditanyai apakah bisa. ”Padahal, di negeri sendiri, saya belum pernah masuk hitungan,” ujar sosiolog Universitas Indonesia ini.

Penyiar Metro TV, Najwa Shihab, merasa lebih mandiri dan percaya diri setelah ikut program AFS pada 1994, ketika dia duduk di kelas II SMA. ”Dulu biasanya hanya di peringkat 10 besar. Setelah ikut AFS, bisa ranking satu. Saya jadi lebih berani bertemu dan berinteraksi dengan orang lain,” katanya.

Bukan hanya berbagai pengalaman baru yang diraih para peserta. Mereka pada umumnya juga tetap menjalin hubungan erat dengan orang tua angkatnya. Hosting Coordinator Bina Antarbudaya, Ketty Darmadjaya, mengatakan mendapat tiket gratis saat kakak angkatnya menikah di Amerika. Orang tua dan saudara angkatnya pun datang ke pernikahannya pada tahun 2000.

Sayangnya, meski banyak returnee AFS menjadi orang sukses, kepedulian mereka terhadap masyarakat dianggap masih kecil. Kartono Mohamad, salah seorang anggota Dewan Pembina Bina Antarbudaya, mengatakan mantan peserta AFS banyak yang sukses di masyarakat, tapi kebanyakan baru untuk diri sendiri. Mestinya, kata dia, mereka menjadi pemimpin yang peduli kepada rakyat, seperti Imam Prasodjo dan Tri Mumpuni.

YY, Imron (Solo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus