Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Rekonsolidasi Demokrasi

Salah satu momentum krusial saat ini adalah bagaimana para elite politik yang berniat berlaga dalam pemilihan umum 2024 mendapat posisi strategis di lingkaran kabinet presiden terpilih 2019.

23 Mei 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
tempo/imam yunni

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Fahrul Muzaqqi
Penulis buku Diskursus Demokrasi Deliberatif di Indonesia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Salah satu momentum krusial saat ini adalah bagaimana para elite politik yang berniat berlaga dalam pemilihan umum 2024 mendapat posisi strategis di lingkaran kabinet presiden terpilih 2019. Posisi ini sangatlah penting mengingat setidaknya sejarah telah mencatatkan rujukannya pada karier politik Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebelum menjadi presiden pada 2004, SBY adalah Menteri Koordinator Politik dan Keamanan dalam Kabinet Gotong Royong di bawah Presiden Megawati Soekarnoputri. Sebelumnya, ia menjadi Menteri Pertambangan dan Energi, berlanjut menjadi Menteri Koordinator Politik, Sosial, dan Keamanan di era Presiden Abdurrahman Wahid. Tentu kinerja SBY selama menjadi menteri itu merupakan fase penting dalam pembentukan citra dan memori masyarakat pemilih.

Komposisi kabinet menjadi isu yang seksi bagi media, sekaligus krusial bagi para elite politik hari ini. Perdebatan perihal model kabinet zaken (yang diisi profesional), kabinet koalisi (partai politik), maupun kombinasi keduanya sedang dan akan mewarnai media kita berikut alasan-alasan normatif ataupun pragmatisnya dalam minggu-minggu ini. Deretan nama-nama elite politik, baik dari kalangan partai politik, kepala daerah, maupun profesional, bakal turut mewarnai skema kabinet yang nantinya menentukan konfigurasi elite baru menuju 2024.

Presiden terpilih harus mampu mempertimbangkan dengan sangat matang perihal siapa saja yang akan membantunya dalam kabinet. Negosiasi tidak hanya bersifat klasik berupa perimbangan Jawa-luar Jawa, muslim-nonmuslim, laki-laki-perempuan, nasionalis-agamis berikut rekam jejak yang bersih. Ada pula tuntutan untuk secara proporsional mengakomodasi partai politik lingkaran koalisi bahkan tidak tertutup kemungkinan di luar koalisi dan kalangan profesional. Bandulnya akan mengarah ke mana, itu akan sangat dinamis dan bahkan dalam hitungan detik. Momentum penentuan calon wakil presiden menjadi pelajaran betapa politik kini sangat dinamis detik demi detik.

Bagi presiden terpilih, di samping berbagai tarikan politik dalam penentuan kabinet, yang tidak kalah urgen adalah pertimbangan komitmen para kandidat menteri untuk merampungkan sejumlah pekerjaan rumah yang belum selesai maupun menunaikan janji politik semasa kampanye. Yang lebih mendasar lagi adalah komitmen untuk melakukan rekonsolidasi demokrasi kita.

Rekonsolidasi demokrasi menjadi sangat penting, mengingat beberapa kali momentum elektoral telah membawa sejumlah efek samping. Di antara efeknya adalah politik kebohongan, ujaran kebencian, politik identitas yang destruktif, persekusi dan saling mengadukan kepada aparat hukum, ataupun politik hipokrisi yang memanipulasi psikologi pemilih. Demokratisasi yang berjalan kian berjarak dengan semangat permusyawaratan, yakni konfirmasi dan klarifikasi (tabayyun), deliberasi, mufakat, toleransi, ataupun integrasi.

Walau demikian, kita patut bersyukur bahwa publik makin melek informasi, khususnya perihal politik. Hal ini tetap membutuhkan upaya-upaya yang tak kenal lelah dari para elite politik untuk menanggulangi anasir-anasir dekonsolidasi demokrasi yang belum menunjukkan sinyal melemah. Ini dimulai dengan upaya rekonsiliasi politik pasca-Pemilihan Umum 2019 dan berlanjut pada pendidikan politik yang konstruktif bagi bangunan berbangsa-negara dan berdemokrasi.

Di hadapan kita terbentang isu-isu penting yang perlu mendapat perhatian besar: bonus demografi, terorisme lintas negara, konservatisme agama, revolusi 4.0, lingkungan hidup, kebutuhan dasar masyarakat (pendidikan dan kesehatan), infrastruktur dan pembangunan kawasan, kependudukan (integrasi kartu-kartu layanan publik), kemaritiman, dan lain sebagainya. Isu-isu itu membutuhkan kerja ekstrakeras dari para pemimpin maupun teknokrat yang berkomitmen demokrasi dan berjiwa Pancasila.

Mengapa harus berkomitmen demokrasi dan berjiwa Pancasila? Bukan semata klise atau teriakan slogan gincu semata, melainkan kita memang harus menginsafi bahwa tidak cukup hanya orang pintar untuk mengurus negeri ini. Yang tidak kalah penting adalah komitmen berdemokrasi dan berjiwa Pancasila.

Presiden terpilih, sekali lagi, menjadi penentu utama bagaimana wajah konsolidasi demokrasi kita setidaknya lima tahun ke depan. Jangan sampai demokratisasi yang berjalan tidak menemukan titik terangatau jalan di tempat tak tentu arahberupa keadilan dan kesejahteraan atau bahkan mengalami kemunduran (dekonsolidasi). Jangan sampai retakan-retakan sosial-politik sebagai efek samping pemilu kali ini makin runcing dan gagal membangun kembali semangat gotong-royong dan persatuan. Tentu saja, kita semua juga turut bertanggung jawab bahu-membahu membantu pemimpin terpilih untuk rekonsolidasi demokrasi dan mewujudkan cita-cita nasional.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus