Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Remisi dan Mekanisme Seleksi

Kekuasaan Presiden Joko Widodo menerbitkan remisi tentu tidak berdampak kepada narapidana semata.

19 Februari 2019 | 07.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Miko Ginting
Pengajar Hukum Pidana STH Indonesia Jentera

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kekuasaan Presiden Joko Widodo menerbitkan remisi tentu tidak berdampak kepada narapidana semata. Presiden juga harus mempertimbangkan sensitivitas keadilan publik. Ini menjadi sulit karena Presiden berhadapan dengan ratusan atau mungkin ribuan permohonan remisi untuk ditandatangani. Tanpa kecermatan dan kelengkapan informasi serta penyeleksian berjenjang yang ketat, niscaya keputusan itu dapat berujung pada kontroversi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kasus mutakhir adalah pemberian remisi terhadap Susrama, seorang terpidana pembunuhan berencana terhadap jurnalis Gde Narendra Prabangsa. Presiden memberikan persetujuan untuk mengubah hukuman terpidana dari penjara seumur hidup menjadi penjara selama kurun waktu tertentu, yaitu 20 tahun. Belakangan, pihak Direktorat Jenderal Pemasyarakatan mengakui lalai memberikan rekomendasi remisi karena tidak melakukan profiling satu per satu kepada calon penerima remisi.

Pada kasus lain, sensitivitas publik juga terganggu karena Presiden secara rutin memberikan remisi kepada terpidana-terpidana kasus tertentu, seperti kasus korupsi. Salah satu yang terjadi baru-baru ini adalah remisi untuk terpidana kasus Bank Century, Robert Tantular. Ia memperoleh pembebasan bersyarat setelah mendapat remisi 77 bulan dari total masa pidana yang harus ia jalani.

Banyak kalangan kemudian memprotes pemberian remisi ini. Namun satu yang perlu didudukkan kembali persoalannya bukan keberadaan remisi sebagai instrumen kebijakan negara. Pemberian remisi pernah digugat untuk dihapuskan, tapi Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 022/PUU-III/2005 menolak permohonan tersebut. Persoalan pokok yang menjadi krusial di sini adalah jenis, mekanisme, dan indikator seleksi terkait dengan pemberian remisi.

Menurut sejarahnya, remisi muncul sebagai hadiah negara kepada warga negara untuk memperingati hari kelahiran Ratu Belanda seperti yang diamanatkan dalam Gouvernement Besluit tanggal 10 Agustus 1935. Remisi hadir sebagai instrumen pengampunan (baca: hadiah) negara berupa pengurangan hukuman terhadap terpidana. Untuk itu, menurut sejarahnya, remisi bukanlah hak narapidana, melainkan pemberian negara.

Namun, dalam perkembangannya, remisi disebutkan sebagai hak dalam Undang-Undang Pemasyarakatan dan aturan-aturan terkait. Pengkategorian remisi sebagai hak berdampak pada keharusan penjaminan seseorang dapat mengakses hak itu sekaligus memberi kewajiban bagi negara untuk memenuhinya. Pada titik ini, Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012, yang memperketat syarat pemberian remisi, menjadi persoalan karena hampir mencabut hak terpidana pada kasus tertentu, salah satunya pengguna narkotika.

Sebagai instrumen kebijakan negara, remisi memiliki posisi untuk menegaskan tujuan pembinaan negara kepada para pelaku kejahatan yang sudah memperoleh hukuman. Narapidana diberi harapan oleh negara untuk memperbaiki diri agar mendapat pengurangan hukuman. Selain itu, remisi dalam posisi sebagai sarana kebijakan hukum pidana dalam pengendalian kepadatan di lembaga pemasyarakatan. Pelaku kejahatan yang sudah diputus bersalah dan sedang menjalani hukuman (dibina) itu diseleksi kemudian dikembalikan ke masyarakat.

Untuk itu, usaha memukul rata penghapusan pemberian remisi kepada terpidana sama sekali tidak tepat. Sama tidak tepatnya dengan pemberian remisi yang dilakukan secara "pukul rata" oleh negara kepada terpidana. Sebagai sebuah bentuk kebijakan dan hak yang dibebani syarat tertentu, pemberian remisi dilakukan secara selektif. Tentu ini dilakukan dengan indikator dan mekanisme yang terukur agar kebijakan itu akuntabel.

Saat ini, yang perlu ditagih adalah usaha keras pemerintah untuk menyusun kembali jenis, mekanisme, dan indikator pemberian remisi ini secara tepat dan terukur. Dari sisi jenis, Keputusan Presiden Nomor 174/1999 masih membuka peluang pemberian remisi dengan jenis yang terlampau banyak. Dari sisi indikator, syarat "berkelakuan baik" harus diturunkan menjadi indikator yang terukur. Dari sisi mekanisme, pemeriksaan berjenjang secara ketat sebelum sampai ke meja presiden menjadi sangat penting dan krusial. Ini terutama di tengah kewajiban negara yang belum tunai dalam membentuk lembaga hakim pengawas dan pengamat sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Sekali lagi, kita tentu sangat marah terhadap pengurangan hukuman terpidana pembunuhan berencana, korupsi, dan kejahatan lain. Namun bukan berarti remisi harus dihapuskan secara serta-merta. Pemerintah harus merombak aturan pemberian remisi ini secara menyeluruh supaya tidak ada orang yang tidak patut menerimanya, sementara di tempat yang lain, yang patut menjadi tidak dapat menerima.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus