Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kini kita hidup dengan politik yang berubah: politik sebagai show business. Telah datang para pesohor yang cantik, tampan, wangi, merdu, bertubuh bagus, dan tak berkeringat. Mereka dipasang, atau memasang diri, sebagai orang-orang yang diharapkan dipilih dalam sebuah persaingan kekuasaan.
Televisi, di sebuah negeri di mana hampir tiap rumah punya pesawat penyebar informasi itu, mempertegas seni panggung ini. TV telah jadi medium yang menggantikan peran pesan; isi yang hendak disampaikannya tak penting lagi. The medium is the message—kalimat Marshall McLuhan setengah abad yang lalu itu kini punya gema baru. Tak penting agenda apa yang hendak diperjuangkan politikus/bintang dan bintang/politikus itu. Yang penting: nun di sana ada sosok audiovisual yang menarik.
Nun di sana…. Televisi telah membangun pentas politik dari jarak jauh; kata tele (dari kata Yunani Kuno, tèle) sangat penting diingat. Dalam kejauhan itu, yang tampil adalah "citra"—sebuah kata yang maknanya dideskripsikan dalam sajak Usmar Ismail (dan diberi melodi oleh komponis Cornel Simanjuntak) sebagai "bayangan". Dan tak cuma "bayangan"; citra selalu terkait dengan "kabut". Di kejauhan, yang gemerlap sama saja dengan yang tak jelas.
Sebab itu siapa yang melihat gerak-gerik seorang politikus sebagai "pencitraan" (artinya palsu) akan salah. Dalam kabut yang meliputi citra, kita tak akan pernah tahu mana yang asli. Pada akhirnya, orang harus percaya penuh atau orang harus curiga penuh. Kata "pencitraan" akhirnya jadi sebuah umpatan yang latah dan sia-sia.
Sebenarnya semua ini terjadi bukan dari titik nol. Hubungan politik dengan teater—dengan permainan peran dan penampilan diri—punya sejarah yang panjang. Dari panggungnya di The Globe, di tepi Sungai Thames di akhir abad ke-16, Shakespeare telah mengungkapkan itu. Permainan kekuasaan ditentukan oleh kiat mengelabui dan pura-pura. Dalam Hamlet, sang pangeran menyiapkan pembalasan kematian ayahnya dan tak seorang pun tahu pasti, juga ia sendiri, apakah ia telah setengah sinting. Dalam Macbeth, sang panglima perang mengundang rajanya menginap di kastilnya untuk kemudian dibunuh di waktu tidur.
Dan tentu saja Richard III: di sini ambiguitas dalam agenda untuk berkuasa begitu jelas. Penampilan adalah pencitraan. Adik raja, Duke of Gloucester, yang kemudian bertakhta sebagai Richard III, berterus terang kepada penonton bagaimana ia tak berterus terang: dalam menjalankan perannya, "kedurjanaannya yang telanjang" ia tutupi dengan anjuran-anjuran lama yang ia curi dari sabda Tuhan. Ia mengakui bahwa ia menampakkan diri sebagai seorang suci ketika ia "memainkan peran iblis".
And thus I clothe my naked villainy
With odd old ends, stol'n out of holy writ;
And seem a saint, when most I play the devil.
Richard adalah aktor yang berlapis-lapis. Ia memainkan sebuah identitas di atas panggung, tapi ia juga memainkannya dengan kesadaran bahwa ia berperan di hadapan penonton. Dengan kata lain: ia "bersandiwara" untuk "tak bersandiwara". Dalam lakon ini, ia berpura-pura kepada para musuh dan korban-korbannya untuk memperdaya mereka, tapi sementara itu ia bersikap jujur kepada hadirin yang duduk dan berdiri di The Globe—seakan-akan hendak meminta dukungan di dalam sebuah persekongkolan.
Ia muncul pertama kali dengan sebuah kabar yang optimistis: masa baru kerajaan telah datang, negeri memasuki akhir "musim dingin ketidakpuasan", the winter of our discontent. Matahari dinasti York mulai bersinar, setelah perang panjang, zaman damai terwujud, cinta dan persahabatan kembali. Tapi segera kabar gembira itu punya warna lain: di masa seperti itu, ia, seorang bangsawan tinggi yang seharusnya merayakan kemenangan, justru menyadari tubuhnya yang bungkuk dan buruk—dan ia mengeluh tak bisa ikut bergembira. Di bawah sinar matahari sehabis winter, yang ia lihat hanya bayangan tubuhnya, dan ia menyadari cacatnya sendiri.
Why, I in this weak piping time of peace,
Have no delight to pass away the time,
Unless to see my shadow in the sun
And descant on mine own deformity.
Tuluskah ia dalam keluhan itu? Tulus ataupun tidak, dengan itu ia memproyeksikan diri sebagai oknum di luar semuanya: di luar nasib baik, di luar tata krama, di luar ukuran moral sesama. Ia bertekad jadi jahat dan membenci hari-hari yang nyaman berleha-leha: I am determined to prove a villain/ And hate the idle pleasures of these days.
Dan ia pun membunuh; ia merayu; ia menipu. Dengan darah dingin. Licin, julig, penuh khianat. "…I am subtle, false, and treacherous…," demikian pengakuannya. Ia kawini putri seorang bangsawan yang suami dan ayahnya ia habisi. Setapak demi setapak ia naik sampai ke takhta, setelah membersihkan musuh-musuh politiknya.
Pencitraan Richard praktis dan cerdik. Ia tak tampan—dan tak bisa tampil tampan karena ia bersua dengan orang lain bukan melalui televisi. Maka ia justru mengandalkan buruk tubuhnya. Protesnya kepada nasib memberinya alasan untuk bengis. Ia seorang korban takdir, dan sebagaimana umumnya orang yang merasa jadi korban, ia merasa berhak untuk membenci.
Bisa juga dikatakan: ia mengelabui orang yang hendak dimusuhinya. Ketika sosoknya yang "deformed, unfinish'd" dianggap tak berbahaya, ia membuktikan diri bisa mematuk seperti ular yang melata.
Richard III adalah sebuah tesis politik: pencitraan adalah ambiguitas terus-menerus. Orang membentuk identitasnya bersama kehadiran orang lain. Dengan beberapa lapis kabut.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo