Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
APABILA solidaritas para hakim sudah membunuh rasa keadilan, pengadilan tak ubahnya panggung kematian hukum kita. Peradilan mantan hakim tindak pidana korupsi ad hoc Asmadinata, yang berakhir dengan vonis lima tahun penjara dan denda Rp 200 juta, merupakan salah satu bukti betapa buruk dampak jaringan perkawanan tercela para hakim itu. Pertemanan di antara para hakim, barangkali juga kebiasaan saling "mengunci" rahasia, mengakibatkan putusan pengadilan jauh dari obyektif dan adil.
Diadili teman sejawat di Semarang, vonis bagi Asmadinata tergolong ringan, jauh lebih rendah dibandingkan dengan sebelas tahun yang dituntut jaksa. Majelis hakim yang dipimpin Dwiarso Budi Santiarto menilai mantan hakim "tipikor" itu melanggar Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Asmadinata dianggap terbukti menerima hadiah atau janji yang berkaitan dengan perkara yang ditanganinya.
Hukuman lima tahun itu jelas tak sebanding dengan "dosa" Asmadinata. Bersama hakim Kartini Marpaung, ia melakukan perbuatan terlarang manakala mengadili kasus dugaan korupsi pemeliharaan mobil dinas Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Grobogan, Muhammad Yaeni, pada 2012. Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap basah keduanya ketika bertemu dengan makelar kasus yang mewakili kepentingan Yaeni.
Pertemuan tersebut berjalan seperti jual-beli vonis, yang sungguh mencabik-cabik martabat hakim—kalau para pelaku ini masih mempunyai martabat itu. Makelar dan hakim itu sengaja membuat kesepakatan lancung. Kalau Yaeni bebas, hakim akan menerima setoran Rp 500 juta. Kalau vonis ringan yang datang, jatah hakim Rp 100 juta. Masih ada tambahan pada "paket" rasuah itu: Asmadinata dan Kartini memasang harga Rp 36 juta untuk biaya lobi Mahkamah Agung. Buat apa? Agar keduanya tidak dimutasi ke tempat lain. Rupanya, mutasi pun diperdagangkan.
"Perdagangan" putusan Asmadinata ini menunjukkan untuk kesekian kali bahwa ada masalah dengan independensi pengadilan tindak pidana korupsi di daerah. Di Jakarta, pengadilan tindak pidana korupsi terkesan sangat bersemangat mengadili menteri, gubernur, atau "orang besar" lain. Sebagian sudah divonis berat. Sedangkan di Semarang, vonis ringan bagi Asmadinata—sebelumnya, hakim Kartini juga hanya dihukum delapan tahun—seperti mempertontonkan rendahnya nafsu pengadilan menghukum hakim yang kelakuannya seperti "pagar makan tanaman" itu.
Kalau sudah begini, pengadilan yang independen, tidak diskriminatif, dan jauh dari simpati teman sejawat diharapkan mampu mengembalikan rasa keadilan orang banyak, terutama dalam kasus dengan terdakwa aparat keadilan. Peradilan mesti dipindahkan ke tempat netral atau sekalian ke Jakarta. Di sana, keadilan—bukan rasa simpati, ewuh pakewuh, dan sejenisnya—setidaknya akan menjadi pertimbangan penting majelis hakim. Bisa jadi langkah itu saja tak cukup komprehensif memerangi resistansi yang muncul di antara para hakim pengadilan korupsi ini. Menghadapi vonis ringan yang dijatuhkan majelis hakim, jaksa seyogianya tak ragu mengajukan perlawanan hukum.
Hakim "tipikor" yang sengaja melakukan korupsi patut dikelompokkan ke dalam barisan hakim yang mengkhianati sumpah jabatan mereka sendiri. Sadar atau tak sadar, para hakim yang telah mengutamakan solidaritas korps yang buta ketimbang keadilan telah melukai hati masyarakat.
Kita tak boleh letih melawan aneka korupsi di negeri ini bila tak ingin pengadilan menjadi tempat disemayamkannya hukum dan keadilan.
Berita terkait klik Disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo