Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rencana pemerintah mengubah persyaratan akses kredit usaha rakyat atau KUR ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, kebijakan ini bisa menjadi jawaban atas kesulitan pelaku usaha kecil dan menengah untuk memperoleh kredit murah modal kerja. Tapi, di sisi lain, pelonggaran syarat kredit menjadi risiko besar bagi bank dan lembaga penyalur pembiayaan manakala pinjaman tersebut macet serta bermasalah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah menyiapkan syarat baru untuk nasabah KUR. Dalam ketentuan yang baru, pemerintah akan memberlakukan skor kredit sebagai basis penilaian kelayakan pemberian pinjaman kepada debitor. Faktor-faktor yang mempengaruhi skor kredit tersebut, antara lain, adalah prospek serta kesehatan usaha hingga volume kontrak bisnis yang kemudian dianggap layak sebagai pengganti agunan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak hanya mempermudah syarat penyalurannya, pemerintah juga berniat menghapus buku tagihan KUR yang macet. Sasarannya adalah kredit dengan nilai maksimal Rp 500 juta dan ditanggung oleh dua lembaga asuransi kredit milik negara, yaitu Jaminan Kredit Indonesia dan Asuransi Kredit Indonesia.
Baca juga: Obral Kemudahan Akses KUR
Pemerintah menjadikan 145 negara sebagai acuan saat merancang kebijakan baru ini. Dengan mempermudah syarat pengajuan kredit, pemerintah berharap realisasi penyaluran KUR terus meningkat. Bahkan ada target yang cukup ambisius, yakni mendorong penyaluran KUR dari 20 persen menjadi minimal 30 persen dibanding total penyaluran kredit perbankan pada 2024.
Kebijakan ini tentu saja menarik bagi pelaku usaha kecil-menengah, yang selama ini menghadapi hambatan saat mengakses kredit perbankan. Faktor penghambat utamanya adalah agunan. Dalam Peraturan Menteri Perekonomian Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUR, debitor yang terbebas dari agunan hanya penerima kredit supermikro atau dengan plafon pinjaman maksimal Rp 10 juta. Sementara itu, nasabah KUR jenis lain masih harus menyetor jaminan sesuai dengan pinjaman yang diajukan. Banyak pelaku usaha kecil yang tak memenuhi syarat ini.
Agunan menjadi salah satu persoalan yang menyebabkan penyaluran KUR tak sesuai dengan target. Data Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan menyebutkan realisasi penyaluran KUR pada 2022 mencapai Rp 365,50 triliun atau 97,95 persen dari target. Tahun ini, pemerintah malah memangkas target plafon KUR dari awalnya Rp 450 triliun menjadi Rp 297 triliun. Ini terjadi setelah realisasi KUR hingga semester I mencapai Rp 105,47 triliun atau hanya 23,44 persen dari target awal.
Baca juga: Menuju Pemutihan Kredit UMKM
Tapi pelonggaran syarat penyaluran KUR punya risiko besar, terutama rentan moral hazard. Badan Pemeriksa Keuangan berkali-kali menemukan pelanggaran dalam penyaluran KUR. Sebagai contoh, pada 2020, auditor negara mencatat 19 temuan pengelolaan KUR oleh salah satu bank pelat merah. Dari pemeriksaan BPK, bank tersebut tidak menganalisis data calon debitor secara memadai dan tidak memeriksa aset yang dijaminkan. Ada pula temuan penyaluran KUR yang melebihi plafon.
Kelemahan prosedur penyaluran KUR juga sering kali berbuntut perkara. Tahun lalu, Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat mengidentifikasi kerugian negara akibat korupsi penyaluran KUR pertanian oleh salah satu bank senilai Rp 29,6 miliar. Kerugian negara itu muncul karena penyaluran dana KUR tidak tepat sasaran. Persoalan-persoalan ini, selain menyebabkan tujuan KUR tak tercapai, bisa menggelembungkan rasio kredit bermasalah yang pada akhirnya merugikan bank dan pemerintah.
Kebijakan baru pemerintah pun menimbulkan pertanyaan sekaligus kekhawatiran jika penyaluran KUR semakin melenceng atau tak berkelanjutan. Untuk penilaian skor kredit, misalnya, sejauh mana kesungguhan bank untuk menjalankan proses ini. Bank akan menghadapi inefisiensi ketika harus mengeluarkan biaya besar untuk proses credit scoring ratusan ribu atau bahkan jutaan calon debitor KUR, sementara margin dari penyaluran kredit rakyat ini tak sebesar skema lain. Dengan risiko dan kondisi seperti ini, muncul pertanyaan soal kesungguhan bank dalam menyalurkan KUR.
Baca juga: Menimbang Kredit Bunga Nol Persen
Karena itu, pemerintah jangan gegabah dalam memutus kebijakan soal kredit rakyat ini, apalagi dengan menjadikannya sebagai komoditas politik. Dugaan politisasi tak terhindarkan karena rencana ini baru muncul menjelang pergantian kepemimpinan nasional.
Pemerintah semestinya mendorong skema pendanaan murah dalam bentuk lain, misalnya melalui stimulus untuk dana bergulir yang dikelola masyarakat dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Dengan cara semacam ini, masyarakat bisa mendapatkan dana murah sekaligus mengawasi pemanfaatannya agar bisa berkelanjutan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo