Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Robin Hood atau Hood Robin?

Diam-diam BPPN telah menjual Bank Bukopin kepada pemilik lamanya. Ternyata uangnya berasal dari pemerintah.

30 Desember 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEANDAINYA Bung Hatta masih hidup, ia mungkin akan menciptakan kata baru untuk koperasi. Siapa tahu Bapak Bangsa Indonesia ini akan menggunakan istilah prosumer—gabungan kata producer dan consumer—yang dipopulerkan Alvin Toffler dalam bukunya yang terkenal, The Future Shock. Atau bisa saja kata lain, tapi boleh dipastikan akan berbunyi sangat beda dengan kata koperasi, yang kini acap diasosiasikan orang ramai dengan kegiatan korupsi. Bagaimana tidak. Amanat Undang Undang Dasar 45, yang menyebutkan koperasi sebagai salah satu dari tiga pilar ekonomi bangsa, telah disalahgunakan dengan begitu dahsyat. Atas nama koperasi, atau pengusaha lemah, berbagai kegiatan yang melibatkan triliunan rupiah dana publik telah dilakukan. Hanya sedikit—bahkan nyaris tak ada—yang akhirnya bermuara menjadi konglomerat koperasi seperti di Swedia atau Amerika Serikat. Soalnya, semangat koperasi meningkatkan kesejahteraan anggota telah diselewengkan menjadi demi kekayaan pengurusnya. Tengoklah kegiatan kredit bersubsidi untuk petani seperti proyek Bimas ataupun skema lain bagi pengusaha lemah. Terbukti kebanyakan jatuh di saku para pejabat dan kroninya, lalu sebagian besar di antaranya macet. Juga simak program dengan nama Jaminan Sosial Tenaga Kerja, yang menangguk dana yang dipotong dari gaji jutaan buruh lalu dipinjamkan dengan bunga rendah kepada konglomerat. Itu pun banyak yang kemudian macet. Jangan heran jika muncul ungkapan sinis bahwa di Indonesia Robin Hood berganti nama menjadi Hood Robin. Soalnya, sementara di tanah kelahirannya di Inggris sana sang Robin Hood merampok orang kaya untuk dibagikan kepada yang miskin, di Indonesia uang dikumpulkan dari yang tak berpunya untuk dibagikan kepada yang kaya-raya. Praktek tak terpuji ini rupanya tak berhenti dengan bergulirnya era reformasi. Para konglomerat yang berutang besar akibat krisis (dan juga sebagai penyebab krisis) kini ramai-ramai membeli kembali perusahaan mereka yang disita pemerintah melalui BPPN dengan harga murah. Lantas, siapa yang menanggung biaya selisih antara utang mereka dan uang yang diterima BPPN melalui penjualan aset-aset tersebut? Ternyata pemerintah, yang artinya menjadi tanggungan seluruh rakyat Indonesia dalam bentuk utang segunung. Para pemilik lama Bank Bukopin baru saja melakukan praktek seperti ini. Bahkan lebih hebat lagi karena dana pembeliannya berasal dari pemerintah. Luar biasa. Ini jelas bukan lagi kelas Hood Robin, tapi sudah menjadi super-Hood Robin. Seandainya Bung Hatta masih hidup, ia mungkin tak hanya akan mengubah nama koperasi. Ia juga akan mengucapkan istigfar berkali-kali.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus