Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Faisal Basri, seorang pengamat ekonomi dan politik serta pendiri Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), meninggal pada Kamis, 5 September 2024, pukul 03.50 WIB di RS Mayapada, Kuningan, Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia dirawat di ruang Intensive Care Unit (ICU) setelah mengalami kelelahan setelah kunjungan ke petani di Sumatera Utara dan memiliki riwayat penyakit diabetes. Kepergiannya merupakan kehilangan besar bagi dunia ekonomi dan politik Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Telah berpulang ke rahmatullah hari ini, Kamis, 5 September 2024, pukul 03.50 WIB di RS Mayapada, Kuningan, Jakarta,” kata ekonom Indef Tauhid Ahmad melalui pesan singkatnya di Jakarta, Kamis. 5 September 2024.
Faisal Basri dikenal sebagai pengamat yang kritis terhadap berbagai kebijakan pemerintah Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Berikut beberapa kritik yang pernah disampaikan Faisal Basri kepada pemerintahan Jokowi.
1. Pembangunan Bukan Berapa Kilometer Jalan yang Dibangun
Dalam Diskusi Publik: Tanggapan Atas Debat Kelima Pilpres, ekonom senior itu mengkritik keras pemerintahan Presiden Jokowi. Menurut dia, tujuan pembangunan adalah untuk meningkatkan kualitas manusia, dan tak semata-mata dilihat dari pembangunan fisik.
“Pembangunan itu kan ujung-ujungnya adalah meningkatkan kualitas manusia, bukan berapa kilometer jalan yang dibangun, tapi manusianya itu berkualitas (atau) tidak,” ujar Faisal Basri dalam Diskusi Publik: Tanggapan Atas Debat Kelima Pilpres yang dipantau secara virtual di Jakarta, Senin, 5 Februari 2024.
Berdasarkan World Population Prospect yang dirilis oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), penduduk Indonesia memiliki angka harapan hidup sebesar 68,25 tahun pada 2022. Jika dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara, Indonesia berada di peringkat kedua terbawah, hanya sedikit lebih tinggi dari Myanmar yang memiliki angka 67,26 tahun.
Faisal Basri menjelaskan bahwa salah satu indikator peningkatan kualitas manusia adalah meningkatnya tingkat harapan hidup. Namun, menurutnya, hal ini tidak terwujud selama pemerintahan Presiden Jokowi.
2. Persoalan Bansos yang Digelontorkan pada Awal Tahun 2024
Di tempat diskusi yang sama, ekonom senior Universitas Indonesia itu mempersoalkan bantuan sosial (bansos) yang belum dijadikan mekanisme terpadu di dalam pengelolaan ekonomi menjadi jaring pengaman sosial (social safety net).
Pemerintah telah mengalokasikan anggaran perlindungan sosial sebesar Rp 496,8 triliun pada tahun ini, yang hampir setara dengan anggaran pada masa pandemi Covid-19 tahun 2020 senilai Rp 498 triliun.
Faisal Basri menyatakan bahwa anggaran perlindungan sosial tahun 2024 melampaui alokasi pada tahun-tahun sebelumnya, yakni Rp 468,2 triliun pada 2021, Rp 460,6 triliun pada 2022, dan Rp 443,5 triliun pada 2023. Namun, peningkatan anggaran tersebut tidak terbukti meningkatkan angka harapan hidup di Indonesia. Hal ini, menurutnya, disebabkan oleh bansos yang belum dijadikan sebagai mekanisme terpadu dalam pengelolaan ekonomi, sehingga angka harapan hidup di Tanah Air masih tergolong rendah.
“Bansos itu tidak temporer, (bukan hanya saat) pemilu saja,” ujar Faisal Basri.
3. Kritik 3 Menteri Jokowi di Sidang Sengketa Pilpres
Ekonom senior Universitas Indonesia, Faisal Basri, menanggapi kesaksian empat menteri kabinet Presiden Jokowi dalam sidang sengketa Pilpres di Mahkamah Konstitusi. Faisal mengkritik tiga menteri, yaitu Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Koordinator PMK Muhadjir Effendi, dan Menteri Keuangan Sri Mulyani, karena menurutnya mereka hanya membacakan pidato kenegaraan dalam sidang.
Ia memuji satu menteri, yaitu Tri Rismaharini (Bu Risma), yang dianggap tidak sekadar membaca.“Karena dia menyampaikan apa adanya,” ujarnya. Tidak hanya itu, Faisal menilai tiga menteri tersebut hanya memaparkan betapa baiknya pemerintahan dalam memberikan bantuan sosial, yang menurutnya merupakan tugas dasar pemerintah.
4. Perihal Kenaikan PPN Jadi 12 Persen
Dalam diskusi Indef bertajuk Kemerdekaan dan Moral Politik Pemimpin Bangsa, Faisal Basri mengkritik rencana pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen per 1 Januari 2025.
Menurutnya, kebijakan ini hanya akan merugikan rakyat kecil, sementara tambahan pendapatan negara dari kenaikan PPN tersebut diperkirakan tidak akan mencapai Rp 100 triliun. Faisal Basri menyarankan agar pemerintah menerapkan pajak ekspor batu bara, yang menurutnya bisa menghasilkan pendapatan negara hingga Rp 200 triliun, jauh lebih besar dibanding kenaikan PPN.
5. Kebijakan Kartu yang Diberikan Pemerintah
Faisal Basri mempertanyakan kebijakan pemerintah di era Presiden Joko Widodo yang memberikan banyak kartu bantuan kepada masyarakat. Kritik tersebut disampaikan saat ia berbincang dengan mantan Ketua KPK Abraham Samad melalui channel YouTube Abraham Samad Speak Up.
“Sekarang yang namanya dompet orang miskin itu tebal. Bukan tebal karena uangnya, tebal karena banyak kartunya,” ujar Faisal Basri dikutip Jumat, 5 Januari 2024.
Faisal Basri menuturkan, tidak ada negara lain yang mempraktikkan langkah yang sama dengan Indonesia. “Ini apa-apaan, di dunia ini enggak ada yang begini,” tuturnya.
Faisal Basri mengungkapkan bahwa Kartu Sehat yang ia miliki sebenarnya adalah kartu BPJS Kesehatan. Ia mengkritik bahwa kartu tersebut diklaim sebagai karya Presiden Jokowi, padahal BPJS Kesehatan sudah menjadi kewajiban berdasarkan undang-undang. Menurutnya, penamaan Kartu Sehat di era Jokowi seolah-olah memberikan kesan program baru, meskipun sebenarnya BPJS Kesehatan sudah ada sebelumnya.
MYESHA FATINA RACHMAN I RADEN PUTRI A G I ISTIQOMATUL HAYATI I RR ARIYANI YAKTI I DESTY LUTHFIANI