Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Tunggakan subsidi BBM pemerintah ke Pertamina mencapai Rp 99,4 triliun.
Pertamina merugi Rp 28 triliun akibat menutupi selisih harga BBM dengan minyak dunia.
Kebijakan subsidi BBM hanya untuk memoles citra pemerintah.
KELANGKAAN solar bersubsidi di berbagai daerah membuktikan bahwa kebijakan pemerintah membatasi harga bahan bakar minyak hanya akan menimbulkan setumpuk masalah. Kas negara tak akan kuat menutupi selisih harga minyak dunia yang meroket, apalagi setelah perang Rusia-Ukraina meletus. PT Pertamina (Persero) ikut merugi karena dipaksa menjual solar jauh di bawah harga pasar.
Sejak beberapa hari lalu, masyarakat sulit memperoleh solar bersubsidi di Provinsi Sumatera Selatan, Riau, dan Bengkulu. Kendaraan bermesin diesel yang didominasi truk pengangkut logistik antre hingga berhari-hari di berbagai stasiun pengisian bahan bakar umum. Akibat antrean ini, distribusi barang kebutuhan pokok turut terhambat. Konsumen ikut dirugikan.
Pertamina menengarai perusahaan perkebunan kelapa sawit dan pertambangan sebagai biang kerok. Kesimpulan itu diperoleh dari menurunnya konsumsi solar nonsubsidi Dexlite menjadi 7 persen dari total keseluruhan penjualan solar Pertamina. Masalahnya, selisih harga antara solar bersubsidi dan Dexlite semakin lebar, yakni Rp 7.800 per liter.
Disparitas harga yang terlalu tinggi ini mendorong industri pertambangan dan perkebunan ikut menyedot solar bersubsidi. Padahal Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 melarang dua industri itu memakai solar bersubsidi. Bukan cuma itu. Disparitas harga ini juga memicu penyelundupan solar bersubsidi ke luar negeri.
Kelangkaan semakin parah karena pembatasan kuota solar bersubsidi tidak memperhitungkan adanya kemungkinan naiknya permintaan. Tahun ini, Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) hanya menjatah konsumsi solar bersubsidi 14,05 juta liter. Jumlah kuota ini mengacu pada realisasi 2020 dan 2021.
BPH Migas alpa: rendahnya konsumsi solar pada periode itu terjadi karena ada wabah Covid-19 dan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). Sebaliknya, mobilitas masyarakat pada tahun ini mulai meningkat seiring dengan pelonggaran di berbagai daerah. Penetapan kuota berdasarkan realisasi tahun-tahun sebelumnya itu jelas tak akan mencukupi kebutuhan saat ini.
Di sisi lain, pemerintah hanya mengalokasikan subsidi solar Rp 500 per liter pada 2021. Pemerintah berjanji akan memberikan kompensasi kepada Pertamina yang telah menanggung kerugian akibat menjual BBM dengan harga murah. Masalahnya, pemerintah kerap menunggak pembayaran subsidi ataupun kompensasi kerugian tersebut. Per akhir Februari lalu, tagihan Pertamina kepada pemerintah untuk subsidi dan kompensasi selama 2019-2022 mencapai Rp 99,4 triliun.
Tunggakan ini berdampak luas. Arus kas Pertamina memburuk. Pada akhir Februari 2022, posisi arus kas operasional Pertamina bahkan sudah minus US$ 1,87 miliar atau sekitar Rp 28 triliun.
Kerugian Pertamina dari penjualan BBM semakin menggunung karena pemerintah melarang perseroan menaikkan harga meski harga minyak dunia tengah melonjak. Tak mengherankan bila Pertamina mengurangi pasokan BBM untuk menekan kerugian. Problem keuangan Pertamina berdampak serius pada penurunan stok bahan bakar minyak, termasuk solar bersubsidi.
Padahal mobilitas masyarakat dan kebutuhan logistik akan meningkat berkali lipat selama beberapa pekan ke depan. Jika stok solar atau BBM lainnya tak mencukupi selama Ramadan dan Lebaran, kekacauan pasti akan terjadi di banyak tempat.
Kondisi ini seharusnya menjadi lampu kuning bagi pemerintah. Sudah sepatutnya harga BBM mengikuti harga pasar dengan segala konsekuensinya. Kebijakan subsidi untuk memoles citra agar dianggap pro-rakyat harus segera dihentikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo