Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Populisme yang Membakar Depo Plumpang

Jatuhnya korban dalam kebakaran depo Pertamina Plumpang tak bisa dipisahkan dari kebijakan “prorakyat” yang keblinger.

12 Maret 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Banyaknya korban dalam kebakaran depo Plumpang tak bisa dipisahkan dari kebijakan populis pemerintah.

  • Untuk obyek vital berisiko tinggi seperti depo Plumpang, harus ada zona penyangga.

  • Keliru besar kalau pemerintah memindahkan depo Plumpang.

DUA puluh orang tewas dan puluhan lainnya luka-luka dalam kebakaran di depo Pertamina Plumpang, Jakarta Utara, merupakan dampak nyata salah urus tata ruang di kawasan tersebut. Andai saja ada zona penyangga yang memisahkan depo Plumpang dengan permukiman penduduk, kebakaran akan lebih mudah dikendalikan dan jatuhnya korban bisa dicegah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Membiarkan warga menempati area yang semestinya menjadi zona penyangga di obyek vital berisiko tinggi merupakan kesalahan besar. Dalam petaka pada Jumat malam, 3 Maret lalu, itu, api dari pipa di kompleks depo menyambar permukiman. Jarak pipa yang terbakar dengan rumah yang hangus memang tak sampai 28 meter—idealnya 50 meter. Menyimpan 291 ribu kiloliter bahan bakar minyak dalam tangki-tangki berukuran jumbo, depo Plumpang akan menyemburkan api berukuran raksasa jika terbakar. Di sekelilingnya, terutama di bagian utara, penduduk berdesak-desakan di permukiman padat. Di beberapa bagian, tembok warga menempel dengan dinding pembatas depo.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ihwal pentingnya zona penyangga sudah digagas ketika terjadi kebakaran depo Plumpang pada 2009. Saat itu api melalap tangki 24 yang berisi 5.000 kiloliter Premium. Seorang pegawai Pertamina tewas dan ratusan warga mengungsi. Ketika itu Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo sepakat mengosongkan lahan yang ditempati sekitar 7.400 keluarga untuk zona penyangga. Di era Fauzi, rencana ini tak terealisasi—Gubernur baru sebatas membentuk tim teknis. Rencana relokasi juga pernah dibahas gubernur sebelumnya, Sutiyoso, pada 2003-2004. Sibuk oleh pemilihan umum, rencana itu urung dijalankan.

Gubernur setelah Fauzi, Joko Widodo, malah memilih kompromi. Ia melegalkan permukiman di Tanah Merah dengan memberi status rukun tetangga/rukun warga dan membagikan kartu tanda penduduk. Dengan status ini, makin banyak orang yang menetap di sana sehingga jarak permukiman kian dekat dengan depo. Persoalan makin rumit karena penerus Jokowi, Anies Baswedan, memberikan izin mendirikan bangunan kawasan sementara untuk kampung tersebut. Anies berdalih, warga Tanah Merah memiliki hak yang sama dengan warga Jakarta lain. Karena itu, sulit tidak mengaitkan banyaknya korban dalam kebakaran depo Plumpang dengan kebijakan populis para pemimpin DKI Jakarta. 

Ketika diresmikan pada 1974, depo Plumpang menempati area 151 hektare. Sejak 1987, masyarakat secara ilegal menempati wilayah di sekitar depo tanpa zona penyangga sama sekali. Dalam kondisi itu, Pertamina sulit menanggulangi kebakaran dan warga sekitar setiap saat terancam sambaran api.

Pemerintah telah mengkaji opsi pemindahan depo dan pembebasan lahan untuk zona penyangga. Jika dipilih, opsi pertama dikhawatirkan mengganggu distribusi bahan bakar—selain berbiaya mahal. Saat ini depo Plumpang merupakan pemasok 20 persen kebutuhan BBM nasional per hari. Ada juga risiko kebakaran besar jika pembongkaran tak lancar. Pemindahan depo ke lokasi lain pun memberi celah penyalahgunaan wewenang dan memunculkan para "penumpang gelap": tak sedikit pengusaha yang kesengsem pada lahan tersebut.


Baca liputannya:


Menjalankan opsi kedua lebih masuk akal. Pemerintah tak perlu membayar ganti rugi karena lahan itu milik negara. Pemerintah DKI Jakarta hanya perlu menyiapkan permukiman baru yang layak. Langkah semacam ini ditempuh penjabat Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono, ketika merelokasi warga yang terkena dampak proyek sodetan Kali Ciliwung ke rumah susun pada akhir 2022. Terhenti enam tahun karena ditolak warga, pembebasan lahan proyek tersebut saat ini sudah beres. Saat masih menjadi Gubernur DKI Jakarta, Jokowi juga pernah merevitalisasi Waduk Pluit, Jakarta Utara, dengan merelokasi 3.000 warga ke rumah susun. 

Kunci sukses pembangunan zona penyangga adalah kemauan politik pemerintah. Tak seperti pendahulunya, pejabat gubernur Heru Budi Hartono semestinya tidak punya beban elektoral dalam mengambil langkah tak populer ini. Para mantan gubernur dan politikus lain hendaknya wawas diri. Populisme boleh jadi telah mengantar mereka ke kursi kekuasaan, tapi dalam kasus Plumpang ia merupakan sumbu api yang membakar dan menewaskan warga.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus