Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Sanggupkah Sutarman Mengubah Polisi

21 Oktober 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TANPA satu pun pesaing, Komisaris Jenderal Sutarman sudah pasti terpilih sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia menggantikan Jenderal Timur Pradopo. Dengan begitu banyak persoalan membelit kepolisian, Sutarman mesti bekerja ekstrakeras menjawab pesimisme orang banyak tentang kemampuannya mengubah korps Bhayangkara.

Keraguan ini, celakanya, sudah dimulai pada proses pemilihan. Kapabilitas Kepala Badan Reserse Kriminal itu tak bisa diukur lantaran tak ada calon lain yang bisa diperbandingkan. Kebiasaan Presiden Susilo Bambang Yu­dhoyono menyodorkan calon tunggal, seperti dalam pemilihan Panglima Tentara Nasional Indonesia, merupakan "tradisi" yang tak patut diwariskan. Seleksi tertutup begini agaknya dilakukan dengan asumsi satu-satunya pilihan yang disodorkan telah teruji integritasnya.

Sutarman tak hanya perlu menunjukkan kredibilitas pribadinya, tapi juga mengembalikan kepercayaan publik terhadap kepolisian. Sejumlah survei dua-tiga tahun terakhir, di antaranya dilakukan Komisi Hukum Negara dan Komisi Pemberantasan Korupsi, menunjukkan rendahnya tingkat kepercayaan publik itu. Masyarakat mempersepsikan kepolisian sebagai satu dari tiga lembaga negara "papan atas" dalam hal korupsi.

Persepsi itu menghapus klaim bahwa kepolisian telah mereformasi diri sejak dipisahkan dari Tentara Nasional Indonesia pada 1999. Prestasi kerja, kalaupun ada, tetap tak menghapus kesan buruk tadi. Respons kepolisian terhadap kenyataan buram itu selalu saja tak memadai.

Kepolisian meyakini dirinya punya semacam peta jalan untuk memperbaiki diri, seperti tercantum dalam buku biru Reformasi Menuju Polri yang Profesional. Keyakinan ini sulit diterima. Semua hal baik pada peta itu hanya berhenti sebagai cita-cita. Setiap ada kesempatan membuktikan kesungguhan mengubah diri, setiap kali pula kepolisian memilih rute yang menjauh dari "jalan lurus" menjadi lembaga yang bersih dan independen.

Sederet kasus menunjukkan hal itu. Misalnya upaya kriminalisasi terhadap pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi periode lalu, Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah. Orang belum lupa terungkapnya rekaman pembicaraan antara Anggodo Wi­djojo, adik seorang tersangka kasus korupsi, dan beberapa petinggi polisi, yang diduga untuk merekayasa proses hukum. Selain itu, bisa disebut kasus rekening "gendut" sejumlah jenderal Polri. Catatan tak kalah buruk adalah upaya kriminalisasi terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, Novel Baswedan, dalam kasus korupsi pengadaan simulator kemudi.

Sebenarnya, dalam setiap kasus itu, seorang Kepala Polri bisa memanfaatkan peluang memperbaiki citra secara signifikan. Tapi, seperti sudah kerap terlihat sebelumnya, Kepala Polri justru selalu jadi bagian dari masalah. Tak mengherankan. Dalam kolam tercemar, bagaimanapun, sulit diperoleh ikan yang segar.

Melihat keadaan itu, bisa dimengerti jika calon Kepala Polri yang diunggul-unggulkan dan kemudian diuji kelayakan dan kepatutannya selalu gagal memupus syak wasangka publik. Siapa pun kandidatnya, orang menilai dia dipilih berdasarkan pertimbangan "yang paling sedikit catatan buruknya". Ditambah pemilihan yang tidak transparan, melalui Dewan Perwakilan Rakyat yang juga bermasalah, sangat boleh jadi Polri tak bakal mengalami perubahan apa pun.

Di masa mendatang, kesempatan memulihkan kepercayaan masyarakat mungkin muncul apabila gagasan "mengimpor" calon Kepala Polri dari luar dipertimbangkan. Perubahan undang-undang jelas tak terhindarkan untuk mengatur masuknya calon dari jalur "nonkarier". Selain itu, perubahan dibutuhkan untuk mengoreksi bermacam ekses akibat terlalu luasnya otonomi dan posisi Polri sekarang ini. Otonomi dan kedudukan kepolisian di bawah presiden menyebabkan Polri menjadi bagian dari rezim yang berkuasa. Akibatnya, polisi lebih banyak melayani penguasa ketimbang masyarakat, yang akhirnya membuat kontrol masyarakat melemah.

Perlu ada kontrol untuk memastikan berjalannya reformasi di tubuh Polri. Hal ini dimungkinkan bila Polri berada dalam kendali dan pengawasan kementerian. Kerap disebut Kementerian Dalam Negeri sebagai pilihan, tapi tak ada salahnya memilih Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai "induk" kepolisian. Untuk mengefektifkan pengawasan, Komisi Kepolisian Nasional harus diperkuat, dengan memberinya wewenang yang lebih "bergigi", bukan sekadar tugas memberi usul dan saran.

Jika polisi masih dipercaya sebagai penjaga ketertiban, semua pihak perlu mengupayakan perbaikan besar pada tubuh penegak hukum yang paling banyak bersentuhan dengan masyarakat itu. Kepala Polri yang baru mesti berdiri paling depan memimpin reformasi itu.

berita terkait di halaman 32

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus