Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
EMPAT tahun menjadi buron nomor satu di tengah lebatnya hutan Poso, Santoso dan seorang pembantunya akhirnya tewas diterjang peluru tim Operasi Tinombala. Kali ini tak ada lagi keraguan. Setelah Santoso beberapa kali dikabarkan tewas, identifikasi ciri-ciri fisik dan sidik jari memastikan yang roboh itu memang dia. Tamat sudah petualangan Abu Wardah—nama lain Santoso—yang pada 2014 menyatakan baiat ke Negara Islam Irak dan Suriah atau ISIS.
Keberhasilan tim gabungan Kepolisian RI dan Tentara Nasional Indonesia menewaskan Santoso patut kita acungi jempol. Meski nama Santoso tak selegendaris Dr Azahari atau Noor Din M. Top—keduanya lebih dulu tewas di tangan Detasemen Antiteror—orang ini tak bisa diremehkan. Dialah yang bertanggung jawab atas serangkaian penembakan dan pengeboman di Palu dan Poso, Sulawesi Tengah, sepanjang 2010-2014. ”Rekam jejak” ini pula yang membuat Santoso masuk daftar global teroris incaran pemerintah Amerika Serikat.
Robohnya Santoso tak langsung berarti ancaman teror mereda. Pengalaman membuktikan, patah satu dalang teror, akan tumbuh penerus baru. Ini pula yang terjadi dengan kelompok Santoso. Muhammad Basri alias Bagong, orang kepercayaan Santoso, sampai sekarang masih berkeliaran di Poso. Pekerjaan rumah polisi setelah Santoso tewas adalah memastikan Bagong atau kelompok sempalan lain tak bisa lagi menjalankan aksi terornya.
Keberhasilan membunuh Santoso juga menarik dikaji, apakah tepat menjadi model bagi aparat hukum dalam menjalankan operasi perburuan teroris di medan khusus seperti Poso. Berbeda dengan operasi memburu kelompok Azahari atau Noor Din yang kebanyakan bergerak di kota-kota di Jawa, kelompok Santoso menggunakan medan Poso yang berhutan lebat sebagai basis kekuatannya.
Mereka dengan cerdik memanfaatkan hutan dan perdesaan bagi taktik serangan ”hit and run”. Kelompok ini bisa tiba-tiba muncul meledakkan bom di keramaian pasar, lalu kabur dengan cepat di kerimbunan hutan. Itu pula sebabnya polisi kesulitan menangkap mereka meski telah membentuk satuan tugas khusus bernama Operasi Camar Maleo. Sebagian ini karena lincahnya kelompok Santoso memanfaatkan kepiawaian mengenal medan, sebagian lain karena tenaga polisi yang terbatas.
Baru pada Januari 2016, polisi mengubah taktik. Kali ini, Kepolisian mengajak TNI melakukan operasi gabungan. Terbentuklah tim Satuan Tugas Tinombala. Tim yang ”ideal” karena, selain ada polisi dengan satuan elite Brimob-nya, melibatkan Kodim, Kostrad, dan Kopassus. Satgas beranggota hingga 3.000 orang ini bergerak mengepung Santoso, yang kian hari kian terpojok. Lalu tibalah saat kematiannya. Peluru anggota Raider Kostrad Satgas Tinombala menerjang tubuhnya.
Keberhasilan operasi gabungan seperti ini mensyaratkan satu hal: kendali operasi harus di satu tangan, yaitu Kepolisian. Ini bukan soal kesatuan apa yang lebih kuat, tapi karena begitulah Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Terorisme mensyaratkan. Undang-undang ini menegaskan bahwa tindakan teror adalah kejahatan pidana. Maka penanganannya pun harus dengan sistem hukum pidana. Dan itu adalah wilayah kewenangan kepolisian. Melibatkan TNI dalam operasi seperti di Poso tetap dibolehkan selama berfungsi sebagai satuan pendukung.
Penegasan itu menjadi penting karena sekarang ada kecenderungan, saat aksi terorisme makin kerap dan brutal, muncul upaya agar pemerintah menerjunkan langsung TNI melawan teroris. Setidaknya ini tecermin dalam draf revisi Undang-Undang Terorisme yang sedang dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat. Draf revisi Pasal 43B ayat 1, misalnya, menyebutkan penanganan aksi teror dilaksanakan Kepolisian, TNI, serta instansi pemerintah terkait.
Jika pasal ini lolos dalam revisi, potensi pelanggaran hak asasi manusia saat menangani kejahatan terorisme sangatlah besar. Berbeda dengan polisi yang dilatih untuk membujuk (persuasif) dan melumpuhkan pelaku kejahatan, lalu membawanya ke pengadilan, TNI dibentuk dan dilatih untuk berperang. Doktrin mereka adalah membunuh musuh. Dengan alasan inilah pasal revisi itu semestinya ditolak. Kita tak ingin penanganan terorisme berubah menjadi perang melawan teror yang tak memberi kesempatan kepada pelakunya untuk diadili.
TNI sebetulnya memiliki kewenangan menangani terorisme, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Pasal 7 ayat 2 membolehkan TNI menangani aksi teror, tapi dengan syarat ketat. Syarat utama adalah aksi teror itu sudah masuk kategori ancaman langsung terhadap kedaulatan negara. Bila aksi teror belum masuk kategori itu, polisilah yang harus turun tangan, bukan TNI.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo