Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemilihan anggota Komisi Penyiaran Indonesia di Dewan Perwakilan Rakyat menyisakan banyak persoalan. Yang paling kontroversial, Komisi I DPR, yang membidangi komunikasi dan informatika, tak meloloskan seorang pun kandidat yang mengkritik keras berbagai siaran televisi. Padahal, di luar gedung parlemen, calon yang getol mengkampanyekan pentingnya demokratisasi penyiaran itu disokong berbagai kalangan masyarakat sipil.
Dari sembilan komisioner baru itu, sebagian besar tak punya rekam jejak yang jelas sebagai praktisi ataupun akademisi bidang penyiaran. Seorang di antaranya suami bekas anggota DPR. Juga ada bekas calon anggota legislatif itu sendiri. Sulit dibantah bahwa mereka terpilih karena kedekatan dengan partai atau politikus Senayan.
Ada yang mengaitkan pemilihan anggota KPI periode 2016-2019 ini dengan Pemilihan Umum 2019. Itu tak berlebihan. Menjelang pemilu, perselingkuhan politikus dengan industri televisi jamak terjadi. Pada kampanye Pemilu 2014, sejumlah televisi terang-terangan mendukung partai dan kandidat yang terafiliasi dengan pemilik stasiun televisi itu. Ketika suhu politik kembali "normal” pun, masih ada stasiun televisi yang gencar mengiklankan partai politik. Dalam konteks ini, masuk akal bila DPR memilih anggota KPI yang bisa "tutup mata” atas pemanfaatan televisi untuk agenda politik.
Komisi Penyiaran tak boleh dikorbankan demi kepentingan politik sesaat. Komisi ini lahir di tengah semangat reformasi untuk melindungi hak publik atas informasi. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menganut prinsip bahwa frekuensi merupakan milik publik yang jumlahnya terbatas. Karena itu, penyiaran harus diawasi agar bermanfaat bagi kecerdasan dan kemakmuran orang banyak.
Undang-Undang Penyiaran pun awalnya memberi wewenang cukup besar kepada KPI. Yang terpenting adalah wewenang menerbitkan izin penyelenggaraan penyiaran bersama pemerintah. Namun, pada 2004, Mahkamah Konstitusi memangkas wewenang tersebut. Sejak itu, KPI lebih banyak berurusan dengan pengawasan isi siaran.
Dengan wewenang yang terbatas sekalipun, KPI terus kebanjiran pengaduan. Sepanjang 2015, KPI menerima lebih dari 8.000 pengaduan seputar tayangan televisi yang mengeksploitasi unsur seks, mistik, dan kekerasan. Banyak juga pengaduan bahwa tayangan televisi tak layak ditonton anak-anak. Padahal Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran telah mengatur dengan rinci apa yang boleh dan tidak dalam isi siaran.
Masalahnya, dalam beberapa kasus, KPI terkesan pilih-pilih. Komisi kerap meributkan hal remeh, seperti pria berpenampilan layaknya wanita. Tapi KPI mendiamkan stasiun televisi yang menggunakan frekuensi publik itu untuk kepentingan politik. Kalaupun menjatuhkan sanksi, KPI hanya berputar-putar pada teguran dan peringatan. Padahal, menurut Pasal 34 ayat 5 Undang-Undang Penyiaran, pelanggaran serius atas Standar Program Siaran bisa berujung pada pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran, setelah ada putusan pengadilan.
Bagi komisioner baru KPI, masih terbuka kesempatan untuk membuktikan bahwa mereka bisa independen dan layak dipercaya. Lupakan lobi-lobi dan komitmen politik sebelum terpilih. Komisioner baru mesti berfokus mengawasi isi siaran agar frekuensi publik tak diselewengkan segelintir orang. Sigaplah merespons pengaduan publik dan tegaslah terhadap pelanggar. Jika tidak, kepercayaan publik atas lembaga ini bisa terus tergerus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo