Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JIKA tiga kader partai politik berkumpul di Mahkamah Konstitusi, tentu bukan karena mereka sekadar ingin kangen-kangenan. Ketiganya memang "bertemu" pada bulan Syawal—sehabis Lebaran—masa orang biasanya melepas rindu dengan kerabat dan sahabat.
"Reuni" itu menunjukkan ada yang tak beres dalam proses rekrutmen di Mahkamah. Tiga hakim yang berpotensi tak independen kini menguasai sepertiga dari sembilan hakim MK. Lebih dari itu, mereka menduduki kursi ketua dan wakil ketua.
Patrialis Akbar (Partai Amanat Nasional) dilantik Presiden sebagai hakim konstitusi sepekan sesudah Idul Fitri. Setelah itu Akil Mochtar (Partai Golkar) dan Hamdan Zoelva (Partai Bulan Bintang) dipilih menjadi ketua dan wakil ketua. Ketiganya bukan anak bawang di lembaga masing-masing. Selain pernah menduduki posisi strategis di partai, mereka juga pernah menjadi anggota DPR dan menempati beberapa posisi penting di sana.
Memang tak ada yang aneh dalam pemilihan Akil dan Hamdan. Akil terpilih secara aklamasi, Hamdan melalui voting sesama hakim konstitusi. Yang jadi sorotan adalah Patrialis Akbar. Dianggap tidak kredibel, pengangkatannya digugat sejumlah lembaga swadaya masyarakat di Pengadilan Tata Usaha Negara.
Yang mencemaskan dari ketiganya, mereka bisa mendominasi lembaga negara yang salah satu tugasnya adalah menyelesaikan sengketa pemilu di pusat dan daerah itu. Jumlahnya tak kecil. Pada 2012, sepertiga dari 287 sengketa yang ditangani Mahkamah Konstitusi adalah persoalan ini. Pada beberapa kasus, sengketa pemilu ini diwarnai politik uang.
Berasal dari partai politik, mereka berpotensi main mata. Pembahasan revisi undang-undang lain yang menyangkut kepentingan partai juga bisa dipengaruhi. Dengan aturan lima hakim menangani satu perkara, ketiga politikus bisa mendominasi suara.
Undang-Undang Dasar memang mengamanatkan sembilan hakim konstitusi diusulkan oleh tiga pihak: Mahkamah Agung, DPR, dan Presiden dalam komposisi yang seimbang. Yang kini terjadi, penetapan hakim konstitusi menjadi bagian dari negosiasi politik. Hamdan dan Patrialis, misalnya, diusulkan oleh pemerintah. Patrialis kuat diduga "di-MK-kan" setelah tersingkir dari kabinet dalam reshuffle 2011.
Patut disayangkan, pemerintah terkesan mengabaikan elemen penting dalam penetapan hakim konstitusi, yakni peran publik. Padahal Undang-Undang Mahkamah Konstitusi jelas menyebutkan bahwa pencalonan hakim konstitusi harus dilaksanakan secara transparan dan partisipatif. Salah satu bagian aturan itu menyebutkan bahwa calon hakim harus dipublikasikan di media agar masyarakat dapat memberi masukan.
Keberadaan calon dari partai politik selayaknya juga diatur. Undang-Undang MK perlu mencantumkan perlunya kandidat dari partai mengundurkan diri dari organisasi setidaknya lima tahun sebelum ia dicalonkan. Aturan ini diperlukan untuk memutus hubungan organisatoris dan psikologis antara sang kandidat dan partai. Kandidat yang hanya berhenti dari partai menjelang pemilihan—lalu kembali ke partai jika gagal terpilih—hanya menegaskan pragmatisme partai, selain dapat menurunkan kredibilitas Mahkamah.
Dibentuk setelah reformasi 1998 bergulir, Mahkamah Konstitusi adalah pertaruhan kita semua. Bertugas mengoreksi undang-undang, lembaga ini tak boleh menjadi sarana tawar-menawar politik apalagi sekadar tempat reuni.
berita terkait di halaman 40
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo