Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

SBY, Mega: Siapa 'Game Over'?

26 Juli 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TERHITUNG sejak awal pekan ini, pemilihan presiden ronde kedua tinggal 56 hari lagi. Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla akan berlaga di babak final melawan presiden yang berkuasa sekarang, Megawati, yang memilih pasangan baru yaitu Hasyim Muzadi. Di tengah persiapan untuk "pertempuran pamungkas" itu, Tim Pembela Demokrasi Indonesia, yang didirikan aktivis PDI Perjuangan untuk membela hak para korban, mendesak Tim Penyidik Koneksitas Kasus 27 Juli?tim gabungan yang memeriksa kasus ini?agar meningkatkan status sejumlah nama dalam penyerbuan terhadap kantor Partai Demokrasi Indonesia di Jalan Diponegoro, Jakarta itu. Ada empat nama yang diusulkan untuk diubah statusnya dari saksi menjadi tersangka, di antaranya adalah bekas Kepala Staf Kodam Jaya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sejauh ini Tim Koneksitas masih bertahan dengan status saksi untuk SBY. Tapi bisakah publik melihat kejadian ini melulu sebagai upaya untuk menegakkan hukum oleh pemerintah yang sedang berkuasa? Agak sulit. Sebaliknya, tersedia banyak alasan untuk meragukannya. Setelah delapan tahun kasus ini hanya menyidangkan dan menghukum para "figuran", tentu ada alasan spesial untuk menjangkau para tokoh militer yang diduga terlibat itu sekarang. Alasan teknis bisa saja dikemukakan. Misalnya, setelah perkara para "figuran" beres ditangani, giliran para jenderal untuk diperiksa. Jalan pikiran begini boleh saja dikemukakan, namun tidak seluruhnya menjawab keraguan terhadap pilihan waktu pemunculan nama-nama jenderal itu. Soalnya, empat tahun yang lalu, tepatnya pada 26 Juni 2000, polisi sudah memaparkan temuannya dan sudah pula menyebut kaitan hampir sepuluh jenderal dengan kasus 27 Juli?semuanya ditetapkan sebagai saksi, termasuk SBY dan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso. Pemerintah Abdurrahman Wahid dan wakilnya, Megawati, waktu itu tidak terlalu bernafsu mencari tahu keterlibatan para jenderal ini. Sikap yang sama ditunjukkan pemerintah Presiden Megawati, yang berkuasa kemudian. Bahkan SBY diangkat sebagai anggota kabinet dan sempat memegang jabatan menteri koordinator yang prestisius. Apabila sekarang semua "kemesraan" itu begitu cepat berlalu, diperlukan argumentasi yang kuat untuk menjelaskannya. Sejauh ini belum ada argumen yang mengesankan. Orang hanya bisa mereka-reka posisi para kandidat presiden itu. SBY harus diakui tampil sebagai kandidat paling kuat untuk menjadi Presiden RI ke-enam nanti. Pada pemilu ronde pertama, SBY merebut 33 persen suara, Megawati di urutan kedua dengan 26 persen suara. Dalam pertandingan "dua besar" nanti, seandainya suara yang direbut tiga pasangan yang kalah di ronde pertama dibagi dua sama rata, SBY tetap berpeluang menang dengan selisih 7 persen suara. Koalisi di tingkat elite partai ternyata masih diragukan efektivitasnya untuk mengubah perolehan suara. Lihat saja kasus Partai Golkar dan Partai Demokrat. Dalam pemilu legislatif 5 April lalu, Partai Golkar meraih tempat pertama, tapi kandidat partai itu, Wiranto-Wahid, hanya berada di posisi ketiga dalam pemilu presiden. Sebaliknya Partai Demokrat hanya meraih 8,4 juta suara dan berada di urutan kelima perolehan suara. Sekarang SBY menang dan meraup 35,8 juta suara atau melonjak lebih dari 400 persen dari suara Partai Demokrat dalam pemilu 5 April. Kalau kondisi ini tidak diubah, pastilah SBY-JK akan lenggang-kangkung ke Istana. Maka, ibarat petinju yang menyiapkan partai balasan (revenge), rekaman pertandingan harus ditonton ulang, kekuatan dan kelemahan lawan perlu dipelajari saksama. Bila dianggap belum cukup, akan dicari senjata pihak sendiri yang masih bisa dipakai, atau selama ini belum dipakai secara optimal. Semoga kasus 27 Juli bukanlah senjata yang belum dipakai itu. Semogalah benar keterangan kalangan dalam PDI Perjuangan bahwa calon presiden mereka sesungguhnya menghendaki kasus ini dilanjutkan setelah pemilu ronde kedua usai. Selain soal fairness, sikap ofensif sudah terbukti hanya akan membuat lawan menerima simpati rakyat karena dianggap sebagai korban?sindrom yang dulu menaikkan Megawati serta PDI Perjuangan di zaman kekuasaan Soeharto, dan juga melambungkan SBY di zaman Megawati. Maka, biarlah hukum berjalan apa adanya. Kasus ini harus diusut tuntas, dengan memeriksa semua yang terlibat tanpa kecuali. Pemeriksaan bisa dimulai dari bekas presiden Soeharto, yang menurut kesaksian bekas Kepala Staf Umum ABRI, Letjen (Purn.) Soeyono, pada 19 Juli 1996, mengundang sejumlah petinggi militer dan polisi ke rumahnya untuk membersihkan "setan-setan gundul" dari Kantor PDI. Setelah itu, baru para petinggi militer bisa mulai diperiksa, termasuk SBY, bekas Kepala Staf Kodam Jaya. Pendapat begini jelas ada risikonya. Bila waktu tak cukup, dan seandainya SBY menang dalam pemilu ronde kedua, sangat mungkin kasus ini kembali alot. Tapi kondisi itu sekaligus tantangan baginya. Ia harus berani meneruskan pengusutan peristiwa 27 Juli. Jika ia menutup kasus ini, berarti ia memang bersalah, dan gelombang protes masyarakat akan dihadapinya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus